Ntvnews.id, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terhadap Pasal 22 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol), yang mengusulkan agar masa jabatan pengurus partai politik dibatasi maksimal dua periode.
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan perkara nomor 194/PUU-XXIII/2025 dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis, 27 November 2025.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan bahwa permohonan yang diajukan advokat Imran Mahfudi tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menjelaskan bahwa argumentasi pemohon yang membandingkan periodisasi pimpinan parpol dengan organisasi advokat tidak tepat.
“Sekalipun organisasi advokat dan partai politik berada dalam ranah infrastruktur politik, keduanya memiliki tujuan dan fungsi yang berbeda,” kata Daniel.
Ia menambahkan bahwa organisasi advokat merupakan lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, sehingga tidak dapat disamakan dengan organisasi lain, termasuk partai politik. MK memandang bahwa Pasal 22 UU Parpol yang mengatur pemilihan kepengurusan secara demokratis melalui musyawarah merupakan bentuk penekanan pembentuk undang-undang terhadap prinsip musyawarah mufakat.
“Dengan konstruksi norma Pasal 22 UU 2/2008 dimaksud, jalan untuk musyawarah untuk mencapai mufakat menjadi pilihan pertama yang seharusnya dilakukan dalam proses pengisian kepengurusan partai politik,” ujar Daniel.
Baca Juga: Revisi UU Pemda Tingkatkan Capaian Positif 25 Tahun Otonomi Daerah
Meski demikian, MK mengingatkan bahwa ketentuan tersebut harus terimplementasi dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) parpol. Model-model pengisian kepengurusan pun perlu dirumuskan secara jelas dalam AD/ART.
“Pada titik itu, ruang untuk melakukan perbaikan proses pengisian partai politik dapat dilakukan oleh setiap anggota dalam perumusan materi atau substansi anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga partai politik,” tambahnya.
Dalam permohonannya, pemohon menguji Pasal 22 UU Parpol yang berbunyi: “Kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai dengan AD dan ART.”
Ia meminta agar pasal tersebut diubah maknanya menjadi: “dipilih secara demokratis melalui musyawarah untuk masa jabatan selama lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali satu kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut sesuai AD dan ART.”
Imran berpendapat bahwa apabila pengaturan kepengurusan sepenuhnya diserahkan kepada parpol melalui AD/ART, mayoritas partai politik tidak akan melakukan pembatasan masa jabatan ketua umum, baik di tingkat pusat maupun daerah.
“Tidak ada kehendak mayoritas partai politik untuk melakukan pembatasan masa jabatan pimpinan partai politik, baik di pusat maupun di daerah, sehingga diperlukan pengaturan hal tersebut melalui ketentuan undang-undang untuk memaksa partai-partai melakukan pembatasan masa jabatan,” dalil Imran dalam permohonannya.
Ia juga menyinggung pembatasan masa jabatan pimpinan organisasi advokat dengan merujuk Putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022. Menurutnya, pandangan MK dalam putusan itu—yang menekankan bahwa pembatasan masa jabatan pimpinan organisasi advokat perlu diatur tegas dalam undang-undang—relevan diterapkan pada partai politik.
“Penerapan pandangan MK tersebut sangatlah relevan untuk diterapkan pada organisasi partai politik karena partai politik memiliki kekuasaan yang sangat besar dan kekuasaan yang besar tersebut adalah mandat langsung dari konstitusi,” ujarnya.
(Sumber: Antara)
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) memimpin sidang pembacaan putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (27/11/2025). Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan uji materi Pasal 239 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang meminta rakyat bisa memberhentikan anggota DPR RI karena dinilai dalil permohonan para pemohon tidak beralasan hukum. ANTARA FOTO/Fauzan/YU (ANTARA FOTO/FAUZAN) (Antara)