Ntvnews.id, Jakarta - Banjir bandang dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera Utara, termasuk kawasan Tapanuli, kembali menimbulkan keprihatinan publik.
Dalam program NTV Today, Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Sumatera Utara, Jaka Kelana Damanik, memaparkan bahwa bencana ini tidak semata-mata dipicu oleh tingginya intensitas hujan, tetapi berkaitan erat dengan kerusakan hutan yang telah berlangsung lama di kawasan hulu.
"Banjir bandang terjadi karena adanya sumbatan di aliran sungai yang membuat volume air besar turun secara tiba-tiba. Sumbatan tersebut umumnya disebabkan tumpukan kayu yang berasal dari penebangan hutan di daerah hulu," ujar Jaka.
"Temuan WALHI melalui rekaman video lapangan dan citra satelit menunjukkan adanya penurunan tutupan hutan yang signifikan di Ekosistem Batang Toru selama beberapa tahun terakhir. Dari total kawasan sekitar 250.000 hektare, sejak 2015 hutan yang hilang diperkirakan mencapai 4.000 hingga 5.000 hektare. Banyaknya material kayu yang terbawa dalam banjir bandang terbaru juga mengindikasikan bahwa penebangan terjadi dalam jangka waktu panjang, bukan dalam hitungan hari atau minggu," lanjutnya.
Jaka menambahkan bahwa WALHI menemukan tujuh perusahaan yang diduga memberikan kontribusi besar terhadap deforestasi tersebut. Namun, penindakan terhadap perusahaan-perusahaan ini tidak mudah dilakukan karena sebagian besar aktivitas mereka telah dilegalkan melalui izin pemerintah.
Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Sumatera Utara, Jaka Kelana Damanik. (Tangkap layar Youtube Nusantara TV)
Ia mencontohkan salah satu perusahaan tambang emas besar di Tapanuli Selatan yang dalam dokumen AMDAL tahun 2020 merencanakan pembukaan lahan seluas 583 hektare dan penebangan lebih dari 185 ribu pohon. Kontrak karya perusahaan itu juga disebut meningkat drastis dari 65.000 hektare pada 1997 menjadi 130.000 hektare pada 2022.
Baca juga: Misteri Kayu Gelondongan di Banjir Tapteng, Warga Minta Telusuri Hulu Sungai
Menurut Jaka, kondisi ini memperlihatkan bagaimana perluasan izin justru membuka peluang deforestasi lebih besar, sementara perubahan status kawasan hutan menjadi area penggunaan lain turut mempermudah perusahaan melakukan penebangan secara legal.
Menghadapi situasi yang disebut Jaka sebagai “nasi sudah menjadi bubur”, WALHI Sumut mendesak pemerintah untuk menghentikan seluruh aktivitas perluasan lahan oleh perusahaan yang berpotensi menambah kerusakan hutan.
Selain itu, evaluasi menyeluruh terhadap izin perusahaan dinilai penting untuk dilakukan, termasuk pencabutan izin bagi perusahaan yang aktivitasnya terbukti membutuhkan penebangan dalam jumlah besar. WALHI juga meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan perubahan status kawasan hutan yang dianggap terlalu mudah diberikan dan berpotensi memperburuk kondisi lingkungan.
Jaka menegaskan bahwa penanganan banjir tidak bisa hanya terfokus pada mitigasi di hilir, melainkan harus dimulai dari pemulihan ekosistem hulu serta pembenahan tata kelola perizinan agar masyarakat tidak kembali menjadi korban bencana serupa di masa mendatang.
Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Sumatera Utara, Jaka Kelana Damanik. (Tangkap layar Youtube Nusantara TV)