Ntvnews.id, Jakarta - Advokat sekaligus Managing Partner RRS & Partners, Rifyan Ridwan Saleh, yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Hukum, Pertahanan, dan Keamanan PB HMI periode 2024–2026, menegaskan perlunya Mahkamah Konstitusi (MK) menjalankan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) No. 604/G/2023/PTUN.JKT secara substantif, bukan sebatas formalitas administratif. Putusan PTUN itu diketahui membatalkan pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK.
Pernyataan ini disampaikan Rifyan, menyusul terbitnya SK MK No. 8/2024 setelah SK No. 17/2023 sebelumnya dibatalkan melalui putusan PTUN.
Dalam dokumen putusan yang diperoleh, PTUN Jakarta menyatakan SK No. 17/2023 yang menjadi dasar penetapan pimpinan MK cacat kewenangan dan memerintahkan MK untuk mencabut serta memulihkan keadaan sesuai amar putusan.
Baca Juga: Empat Orang Ditemukan Tewas dalam Mobil di KM 284 Tol Pejagan-Pemalang
Namun terbitnya SK No. 8/2024, yang dinilai oleh sejumlah pihak mengandung substansi serupa dengan SK yang telah dibatalkan, kembali memunculkan tanda tanya dan kritik terhadap konsistensi MK dalam menjalankan prinsip negara hukum.
“Pelaksanaan putusan pengadilan haruslah substantif, bukan kosmetik,” ujar Rifyan, kepada wartawan, Jumat, 12 Desember 2025.
Menurut Rifyan, negara hukum mewajibkan setiap lembaga negara, termasuk Mahkamah Konstitusi sebagai guardian of the constitution, untuk tunduk pada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Prinsip ini merupakan manifestasi asas supremacy of law sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Putusan pengadilan bukan sekadar catatan administratif. Ia adalah perintah hukum. Jika sebuah SK telah dibatalkan, maka tidak boleh dihidupkan kembali melalui produk administratif yang hanya berbeda nomor tetapi sama substansi,” tuturnya.
Baca Juga: Menkop Ajak Wirausaha Muda Jajakan Produk Melalui Kopdes Merah Putih
Merujuk PMK No. 1 Tahun 2023, Rifyan menekankan bahwa Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) merupakan perangkat etik; putusannya hanya mengikat di ranah etik, bukan ranah administrasi jabatan. MKMK, menurutnya, tidak memiliki kewenangan administratif untuk menentukan ataupun memvalidasi pengangkatan Ketua MK.
Karena itu, penggunaan putusan etik MKMK sebagai justifikasi administratif untuk mempertahankan atau meneguhkan pimpinan MK berpotensi melampaui kewenangan (ultra vires) serta dapat dikategorikan sebagai detournement de pouvoir atau penyalahgunaan tujuan kewenangan.
Pasal 24C ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa Ketua dan Wakil Ketua MK dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi melalui Rapat Pleno Hakim (RPH). Mekanisme konstitusional ini, menurut Rifyan, tidak dapat digantikan oleh skema administratif atau interpretasi etik apa pun.
“Legitimasi Ketua MK tidak boleh lahir dari mekanisme di luar RPH. Prosedur pemilihan bukan sekadar formalitas, tetapi syarat konstitusional yang menjamin integritas lembaga,” tuturnya.
Lebih lanjut, Rifyan mengingatkan bahwa kepastian hukum adalah hak konstitusional warga negara, sebagaimana termuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ia mengutip adagium hukum klasik Fiat justitia ruat caelum artinya keadilan harus ditegakkan meskipun langit runtuh.
Ia juga mengingatkan bahwa ketidakpatuhan terhadap putusan pengadilan dapat memicu distorsi konstitusional dan menggerogoti kepercayaan publik terhadap lembaga yudikatif.
Rifyan Ridwan Saleh.
“Jika lembaga penjaga konstitusi sendiri tidak menunjukkan ketaatan pada putusan pengadilan, maka kita menghadapi ancaman serius terhadap kredibilitas dan stabilitas sistem ketatanegaraan,” jelasnya.
Rifyan lantas mendorong MK untuk melakukan evaluasi internal dan memastikan bahwa seluruh produk hukum yang diterbitkan sesuai dengan amar Putusan PTUN serta kerangka konstitusi.
Ia juga menegaskan bahwa ruang hukum tetap terbuka bagi pihak yang merasa dirugikan untuk mengajukan upaya hukum atas SK baru apabila ditemukan unsur pelanggaran asas legalitas maupun prosedural.
“Koreksi institusional adalah hal yang biasa dalam negara hukum. Ketaatan pada putusan pengadilan bukanlah kelemahan, tetapi justru kekuatan yang meneguhkan martabat lembaga,” tandasnya.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kanan) berbincang dengan Wakil Ketua MK Saldi Isra (kiri) saat memimpin sidang putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis, 16 Oktober 2025. Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pembacaan putusan/ke (Antara)