Ntvnews.id, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bersama pemerintah meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan yang mempersoalkan kewenangan Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI. Hal ini dinyatakan salam sidang lanjutan perkara Nomor 180/PUU-XXIII/2025 di Jakarta, Senin, 1 Desember 2025.
Menurut Komisi III DPR RI serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dalil-dalil permohonan yang diajukan pemohon tidak memiliki dasar hukum.
Anggota Komisi III DPR RI Martin D. Tumbelaka menjelaskan, kerugian yang didalilkan oleh pemohon bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan soal implementasinya.
“Tanpa maksud menilai kasus konkret yang terjadi, permasalahan implementasi norma tidak seharusnya menjadikan norma tersebut menjadi inkonstitusional,” ujar Martin yang merupakan perwakilan DPR.
Menurutnya, Bakamla merupakan lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) yang dibentuk sebagai spesial agensi yang melaksanakan tugas tertentu dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas kementerian/lembaga.
Keberadaan Bakamla tak dimaksudkan untuk menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan institusi lain dalam hal pertahanan, keamanan, dan penegakan hukum. “Melainkan dalam rangka memperkuat, mengoptimalkan dan mengefektifkan tugas tersebut,” kata Martin.
Dalam melaksanakan tugasnya, Bakamla diwajibkan untuk mengedepankan hubungan tata kerja koordinatif dengan instansi lain.
Tata kerja koordinatif itu diatur dalam Pasal 58 dan Pasal 63 ayat (1) huruf b UU Kelautan, Pasal 3 juncto Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia, serta Pasal 35 Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang Bakamla.
“Tata kerja koordinatif ini bertujuan untuk menghindari terjadinya potensi tumpang tindih kewenangan dan mengefektifkan pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing lembaga dalam menjaga keamanan laut,” jelas dia.
Sementara, terkait dalil pemohon yang menyebut pembentukan Bakamla tidak berdasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, DPR menegaskan LPNK tidak dapat disamakan dengan kedudukan lembaga negara utama.
“Pembentukan lembaga dalam UUD NRI Tahun 1945 hanya diperuntukkan bagi lembaga negara utama yang memiliki tugas dan fungsi-fungsi fundamental kenegaraan. Tentu dalam konteks ini, kedudukan lembaga negara tersebut tidak dapat disamakan dengan kedudukan Bakamla sebagai LPNK,” tuturnya.
Sementara, Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan KKP A. Koswara mengatakan UUD NRI Tahun 1945 tidak melarang pembentukan lembaga penegak hukum lain di luar Polri/TNI. Pembentukan badan khusus untuk menangani kompleksitas kejahatan di laut dapat dimungkinkan di luar keberadaan Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan.
“Sebagaimana juga KPK dibentuk untuk korupsi atau BNN untuk narkotika. Bakamla dibentuk justru untuk memperkuat sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta dengan mengisi fungsi coast guard yang bersifat sipil, tetapi memiliki kemampuan penegakan hukum terbatas,” ujarnya.
Sedangkan terkait argumentasi permohonan pemohon yang dibangun atas dasar kasus penangkapan kapal miliknya, KM Suriyani Ladjoni, yang diklaim sebagai tindakan sewenang-wenang oleh Bakamla, pemerintah menyatakan hal itu tidak berdasar.
Ia menuturkan, Bakamla hanya melakukan pengamanan ke pelabuhan karena kapal tidak laik laut dan langsung menyerahkan ke penyidik TNI Angkatan Laut. Menurut dia, proses hukum juga berjalan sesuai prosedur.
“Tindakan Bakamla justru merupakan bukti berfungsinya sistem sinergitas penegakan hukum di laut yang diamanatkan oleh Undang-Undang Kelautan,” kata dia.
Atas itu, DPR dan pemerintah meminta Mahkamah untuk menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya.
Perkara nomor 180/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh Direktur Utama PT Pelayaran Surya Bintang Timur Lukman Ladjoni. Ia mempersoalkan Pasal 59 ayat (3), Pasal 61, Pasal 62 huruf c, dan Pasal 63 ayat (1) huruf b UU Kelautan.
Pasal 59 ayat (3) UU Kelautan merupakan landasan pembentukan Bakamla. Sementara itu, Pasal 61, Pasal 62 huruf c, dan Pasal 63 ayat (1) huruf b mengatur kewenangan Bakamla di antaranya melakukan patroli, melaksanakan penindakan pelanggaran hukum, serta menangkap kapal.
Dia meminta agar Mahkamah menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Permohonan ini diajukan atas dasar kasus yang pernah dialami perusahaannya. Lukman mendalilkan kapal milik perusahaannya, KM Suryani Ladjoni, ditangkap oleh Bakamla dalam Operasi Pukat Manguni IV-24 pada Juli 2024.
“Penangkapan kapal oleh Bakamla tidak hanya menimbulkan kerugian secara materiil dan operasional, tetapi juga merugikan secara konstitusional hak-hak pemohon selaku pemilik kapal sebagai subjek hukum dalam memperoleh perlindungan hukum, kepastian hukum, dan keadilan,” kata Lukman, dikutip dari berkas permohonannya.
Ilustrasi - Suasana di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak. ) (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak. ) (Antara)