Ntvnews.id, Bangkok - Sebanyak tiga warga sipil Thailand dilaporkan tewas akibat baku tembak sengit yang kembali pecah di sepanjang perbatasan Thailand–Kamboja. Insiden ini menjadi korban sipil pertama sejak pertempuran kembali meletus.
Dilansir dari CNA, Jumat, 12 Desember 2025, pertempuran besar terbaru dipicu oleh bentrokan pada Minggu yang menyebabkan dua tentara Thailand terluka dan menggagalkan gencatan senjata yang sebelumnya didorong oleh Presiden AS Donald Trump, setelah lima hari eskalasi konflik pada Juli lalu terkait sengketa wilayah yang telah berlangsung lama.
Sekitar 20 orang dilaporkan meninggal dalam putaran pertempuran terkini, sementara ratusan ribu warga dari kedua negara terpaksa mengungsi, baik menuju pusat penampungan sementara maupun rumah kerabat.
Pernyataan Angkatan Darat Thailand menyebut Kamboja pada Rabu malam melancarkan serangan artileri dan mortir ke posisi Thailand, yang kemudian dibalas dengan serangan senjata berat serupa, mengakibatkan kerusakan termasuk “penghancuran truk musuh”.
Baca Juga: Bentrok Thailand-Kamboja, 400 Ribu Warga Mengungsi
Fresh News Cambodia, situs berita yang merefleksikan pandangan pemerintah Kamboja, melaporkan bahwa duel artileri itu masih berlanjut hingga Kamis pagi.
Situasi ini memantik perhatian internasional, termasuk dari Paus Leo XIV, yang mengungkapkan kepada audiens di Vatikan bahwa ia “sangat sedih atas berita konflik yang kembali berkobar.”
“Ada korban jiwa, termasuk di antara warga sipil, dan ribuan orang terpaksa meninggalkan rumah mereka. Saya menyampaikan simpati saya dalam doa kepada orang-orang terkasih ini,” ujar Paus pada Rabu.
Presiden Trump menyatakan dirinya akan mendorong kedua negara untuk kembali pada kesepakatan gencatan senjata. Gencatan senjata awal pada Juli dimediasi oleh Malaysia dan dipertegas setelah Trump memberi tekanan dengan ancaman mencabut sejumlah hak istimewa perdagangan apabila Thailand dan Kamboja menolak. Kesepakatan tersebut kemudian dirumuskan lebih rinci dalam pertemuan regional di Malaysia pada Oktober, yang turut dihadiri Trump.
Warga sipil Kamboja mengungsi dari rumah mereka di dekat perbatasan dengan Thailand di provinsi Preah Vihear, Kamboja pada 8 Desember 2025. ANTARA/Handout via Xinhua/Agence Kampuchea Presse (Antara)
Meski telah sepakat menghentikan pertempuran, kedua negara terus terlibat dalam perang propaganda, sementara bentrokan kecil di perbatasan tetap terjadi.
Kamboja mengeluhkan Thailand yang belum mengembalikan 18 tentaranya yang ditangkap saat gencatan senjata mulai berlaku. Di sisi lain, Thailand memprotes setelah beberapa tentaranya yang sedang berpatroli terluka akibat ranjau darat yang mereka tuduh baru dipasang oleh Kamboja. Namun Kamboja bersikeras bahwa ranjau tersebut merupakan peninggalan perang saudara yang berakhir pada 1999.
Trump menyebut dirinya berharap bisa berbicara melalui telepon dengan kedua pemimpin pada Kamis, dan mengaku yakin dapat membujuk keduanya untuk menghentikan pertempuran.
Baca Juga: Thailand Lancarkan Serangan Udara degan Jet Tempur F-16 ke Pangkalan Militer Kamboja
“Saya pikir saya bisa membuat mereka berhenti bertempur. Siapa lagi yang bisa melakukan itu?” ujarnya kepada wartawan pada Rabu, seraya kembali mengulang klaim bahwa ia telah menyelesaikan delapan perang sejak kembali ke Gedung Putih.
“Sesekali, satu perang akan berkobar lagi dan saya harus memadamkan api kecil itu,” tambah Trump.
Namun hingga Kamis, AS belum menghubungi pemerintah Thailand terkait pernyataan tersebut, ungkap Perdana Menteri Thailand Anutin Charnvirakul kepada wartawan di Bangkok.
Anutin, yang mewakili sentimen publik nasionalis, berkali-kali menegaskan bahwa Thailand akan terus bertahan sampai kedaulatan dan keamanan negara benar-benar terjamin.
Dalam pernyataannya pada Rabu, ia tidak menutup kemungkinan bernegosiasi dengan Kamboja, tetapi menegaskan bahwa hal itu tidak akan dilakukan sekadar karena permintaan Trump.
Orang-orang berlindung di bunker beton di provinsi Ubon Ratchathani, Thailand.