Ntvnews.id, Jakarta - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump secara terbuka mengungkapkan keinginannya untuk memenangkan Penghargaan Nobel Perdamaian yang akan diumumkan pada Jumat, 10 Oktober mendatang. Ia bahkan menegaskan bahwa akan menjadi “penghinaan” bagi Amerika Serikat jika dirinya tidak terpilih sebagai pemenang.
Namun, sejumlah pakar di Oslo menilai peluang Trump sangat kecil untuk memenangkan penghargaan bergengsi tersebut. “Sungguh tidak terpikirkan,” ujar sejarawan Oeivind Stenersen, penulis buku tentang Nobel, kepada AFP.
Menurut Stenersen, “Trump dalam banyak hal justru kebalikan dari nilai-nilai yang diwakili Nobel.” Ia menjelaskan bahwa penghargaan Nobel Perdamaian selama ini menjunjung tinggi semangat kerja sama multilateral, seperti yang dilakukan melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). “Trump justru menempuh jalannya sendiri secara sepihak,” tambahnya.
Trump sebelumnya mengklaim telah mengakhiri enam hingga tujuh perang hanya dalam hitungan bulan. Namun, para ahli menilai klaim tersebut berlebihan dan tidak didukung bukti konkret. “Komite Nobel harus menilai apakah ada bukti nyata dari keberhasilan dalam upaya perdamaian tersebut,” kata Karim Haggag, Direktur Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI).
Baca Juga: Pelapor Khusus PBB Tekankan Masa Depan Gaza Bukan Bergantung pada Rencana Trump
Dilansir Malay Mail, Minggu, 5 Oktober 2025, tahun ini terdapat 338 individu dan organisasi yang masuk dalam nominasi Nobel Perdamaian, meski daftar resmi nominasi baru akan dibuka untuk publik setelah 50 tahun.
Haggag menilai penghargaan tersebut sebaiknya diberikan kepada mereka yang bekerja secara senyap di lapangan. “Komite perlu menyoroti mediator lokal dan pembangun perdamaian yang sering terlupakan dalam berbagai konflik,” ujarnya. Ia mencontohkan tokoh-tokoh dari wilayah konflik seperti Sudan, Sahel, Somalia, Ethiopia, dan Eritrea.
Salah satu kandidat yang disebut layak adalah Emergency Response Rooms di Sudan, jaringan sukarelawan yang mempertaruhkan nyawa untuk membantu warga sipil di tengah perang dan bencana kelaparan.
Lembaga pemantau media seperti Committee to Protect Journalists dan Reporters Without Borders juga masuk dalam pembahasan, seiring meningkatnya jumlah jurnalis yang tewas di lapangan, terutama di Gaza. “Belum pernah sebelumnya begitu banyak jurnalis terbunuh dalam satu tahun,” kata Nina Grager, Direktur Peace Research Institute of Oslo.
Selain itu, Yulia Navalnaya, istri dari mendiang kritikus Kremlin Alexei Navalny, juga disebut sebagai salah satu favorit kuat dalam bursa taruhan Nobel Perdamaian. Tahun lalu, penghargaan tersebut diberikan kepada Nihon Hidankyo, kelompok penyintas bom atom asal Jepang, atas perjuangannya melawan senjata nuklir.
Baca Juga: Palestina Dukung 20 Poin Susulan Trump untuk Akhiri Perang di Gaza
Tak hanya Nobel Perdamaian, perhatian publik juga tertuju pada Nobel Sastra yang akan diumumkan pada 9 Oktober. Penulis asal Swiss, Christian Kracht—salah satu sastrawan berbahasa Jerman terkemuka—menjadi kandidat unggulan. “Banyak anggota Akademi Swedia hadir di acara Kracht di Gothenburg Book Fair, biasanya itu pertanda kuat,” kata kritikus budaya Bjorn Wiman dari Dagens Nyheter.
Wiman memperkirakan, setelah tahun lalu penghargaan jatuh kepada penulis Korea Selatan Han Kang, kali ini penerima Nobel Sastra kemungkinan berasal dari kalangan penulis kulit putih dengan latar Anglo-Saxon, Jerman, atau Prancis.
Sementara itu, Nobel Kedokteran akan membuka rangkaian penghargaan pada Senin, diikuti Nobel Fisika, Kimia, dan Ekonomi pada 13 Oktober. Penelitian mengenai mekanisme kekebalan bawaan, sel punca leukemia, serta hormon pengatur nafsu makan disebut-sebut memiliki peluang besar untuk menang.
Para ilmuwan yang meraih penghargaan diperkirakan akan memanfaatkan momentum tersebut untuk menyoroti pemotongan besar-besaran dana riset oleh pemerintahan Trump. Seperti diketahui, Nobel terdiri atas diploma, medali emas, dan hadiah uang sekitar USD 1,2 juta.