Pelapor Khusus PBB Tekankan Masa Depan Gaza Bukan Bergantung pada Rencana Trump

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 3 Okt 2025, 08:21
thumbnail-author
Deddy Setiawan
Penulis
thumbnail-author
Dedi
Editor
Bagikan
Rencana Donald Trump untuk mengakhiri perang di Gaza telah diterima oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sementara Hamas belum mengeluarkan tanggapan resmi. Rencana Donald Trump untuk mengakhiri perang di Gaza telah diterima oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sementara Hamas belum mengeluarkan tanggapan resmi. (BBC)

Ntvnews.id, New York - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dinilai sebagai lembaga yang memiliki legitimasi internasional untuk mengawasi masa depan Jalur Gaza, wilayah Palestina yang hingga kini masih terkepung.

Dilansir dari Anadolu, Jumat 3 Oktober 2025, pernyataan tersebut disampaikan Profesor Ben Saul, Pelapor Khusus PBB untuk hak asasi manusia (HAM) dan kontra-terorisme, saat menjawab pertanyaan di National Press Club of Australia mengenai kenegaraan Palestina dan rencana gencatan senjata yang digagas Presiden AS Donald Trump untuk Gaza.

Dalam rencana tersebut, mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair disebut akan memainkan peran sentral. Namun, Saul mengkritik rekam jejak Blair yang sebelumnya terlibat dalam proses Quartet forum yang dibentuk pada 2002 oleh Uni Eropa, Rusia, PBB, dan Amerika Serikat untuk memfasilitasi perdamaian di Timur Tengah namun gagal membawa hasil nyata.

“Jika ingin pengawasan internasional yang sah terhadap masa depan Gaza, gunakan PBB. Itulah fungsi yang seharusnya dijalankan sejak awal,” ujarnya.

Baca Juga: Presiden Prabowo Jadi Inspektur Upacara HUT ke-80 TNI di Monas

Saul juga mengekspresikan kekecewaan atas sikap Australia terhadap perang Israel di Gaza. Ia menilai pengakuan resmi Australia terhadap Palestina baru terjadi bulan lalu setelah 100 ribu warga turun ke jalan di Jembatan Sydney Harbour untuk menekan para politisi. Pengakuan itu disampaikan pada Sidang Umum PBB ke-80, ketika Australia akhirnya mengakui Palestina sebagai negara merdeka.

"legitimasi karena melibatkan semua pihak, dan tidak bergantung pada kehendak Donald Trump, seperti halnya dewan tersebut," ujarnya.

Rencana Trump sendiri berisi 20 poin yang diumumkan di Gedung Putih bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Isinya mencakup penghentian permusuhan, pembebasan sandera, hingga pembentukan otoritas transisi untuk mengelola Gaza.

Rencana itu juga menekankan pembentukan “komite teknokrat Palestina non-politis” di bawah pengawasan lembaga baru bernama Board of Peace (Dewan Perdamaian) yang dipimpin langsung Trump dengan melibatkan tokoh internasional termasuk Blair.

Baca Juga: Momen Anak-anak Sekolah Berebut Salami Prabowo, Ucapkan Terima Kasih Ada MBG

Menurut Saul, keunggulan PBB terletak pada keterlibatan semua negara anggota, berbeda dengan rencana Trump yang dinilai hanya mencerminkan kehendak sepihak.

Gaza Berbeda dari Konflik Lain

Sementara itu, pakar hukum HAM internasional asal Australia, Chris Sidoti, menilai perang Israel di Gaza berbeda dengan konflik lain karena warga Palestina di sana tidak memiliki jalur evakuasi. Ia menyoroti sejak 7 Oktober 2023, serangan Israel telah menewaskan lebih dari 66 ribu warga Gaza, mayoritas perempuan dan anak-anak.

Berbeda dengan perang di Ukraina atau konflik Sudan, di mana penduduk sipil masih bisa menyeberangi perbatasan, warga Gaza benar-benar terjebak.

“Di Gaza, dua juta orang terjebak di wilayah yang luasnya hanya separuh Canberra. Mereka tidak bisa lari dari serangan udara, kelaparan, kekurangan obat-obatan, akses rumah sakit, hingga pendidikan anak-anak. Itu membuat situasi ini benar-benar berbeda,” ujarnya.

Sidoti menegaskan sejak hari pertama, Israel melancarkan operasi penghancuran total terhadap Gaza, membuat jutaan warga sipil hidup dalam kondisi terperangkap tanpa jalan keluar.

x|close