MK Tegaskan Sanksi Pidana Jadi Opsi Terakhir dalam Sengketa Hak Cipta

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 17 Des 2025, 17:57
thumbnail-author
Satria Angkasa
Penulis
thumbnail-author
Dedi
Editor
Bagikan
Arsip foto - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) bersama Wakil Ketua MK Saldi Isra (kiri) dan Enny Nurbaningsih (kanan) memimpin sidang uji materiil UU nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (31/7/2025). Sidang tersebut beragendakan mendengar keterangan saksi dan ahli dari pemohon. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/sgd Arsip foto - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) bersama Wakil Ketua MK Saldi Isra (kiri) dan Enny Nurbaningsih (kanan) memimpin sidang uji materiil UU nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (31/7/2025). Sidang tersebut beragendakan mendengar keterangan saksi dan ahli dari pemohon. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/sgd (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa penjatuhan sanksi pidana dalam perkara sengketa hak cipta harus ditempatkan sebagai langkah terakhir, setelah mekanisme sanksi administratif maupun perdata terlebih dahulu ditempuh namun tidak memberikan penyelesaian yang memadai.

Penegasan tersebut tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 mengenai pengujian materi Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang dibacakan di Jakarta, Rabu.

“Dalam konteks hak cipta, sanksi pidana hanya akan diterapkan setelah semua upaya penyelesaian mekanisme yang lain, seperti sanksi administratif atau perdata, dinilai tidak memadai atau tidak memberikan penyelesaian,” ujar Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

Mahkamah menyatakan bahwa pelanggaran terhadap hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta akibat penggunaan ciptaan secara komersial tanpa izin seharusnya lebih mengutamakan penerapan sanksi administratif dan mekanisme keperdataan dibandingkan langsung menempuh jalur pidana.

Baca Juga: MK Kabulkan Sebagian Gugatan Armand Maulana dkk soal UU Hak Cipta

Menurut Enny, pandangan tersebut sejalan dengan prinsip ultimum remedium dalam hukum pidana, yang menempatkan sanksi pidana sebagai upaya paling akhir dalam penyelesaian suatu persoalan hukum.

Mahkamah menilai penerapan sanksi pidana sebagai langkah awal justru dapat menimbulkan kekhawatiran dan rasa takut di kalangan pengguna ciptaan, yang banyak berasal dari profesi seniman, musisi, maupun pelaku pertunjukan, untuk menampilkan karya mereka di ruang publik.

Kondisi tersebut dinilai berpotensi memengaruhi keberlangsungan ekosistem seni dan budaya. Padahal, salah satu tujuan pembentukan Undang-Undang Hak Cipta adalah menjadikan hak cipta sebagai fondasi utama pengembangan ekonomi kreatif nasional.

Enny menjelaskan bahwa kerugian akibat pelanggaran hak cipta pada dasarnya merupakan kerugian ekonomi yang bersifat multiaspek dan tidak semata-mata menyangkut kepentingan personal, sehingga penyelesaiannya dinilai lebih tepat apabila tidak langsung menggunakan mekanisme hukum pidana.

Baca Juga: Agnez Mo Digugat Rp4,9 Miliar Terkait Pelanggaran Hak Cipta Lagu

“Oleh karena itu, penyelesaian sengketa yang ditempuh seharusnya adalah dengan terlebih dahulu mengedepankan penyelesaian secara administratif dan/atau keperdataan sebelum menempuh penegakan sanksi hukum pidana,” katanya.

MK juga menekankan bahwa tujuan utama penyelesaian melalui jalur administratif dan perdata adalah untuk menyelesaikan sengketa, melindungi hak individu, serta memberikan pemulihan dan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.

Mahkamah berpandangan bahwa pengaturan hak cipta dalam Undang-Undang Hak Cipta mengandung unsur fleksibilitas yang harus diiringi dengan mekanisme penyelesaian yang memberikan perlindungan secara proporsional kepada seluruh pihak terkait.

Perlindungan tersebut, menurut MK, dapat dilakukan antara lain melalui penyelesaian ganti rugi secara administratif atau perdata, misalnya dengan pembayaran melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Dengan demikian, penggunaan mekanisme pidana seharusnya benar-benar menjadi pilihan terakhir.

“Hal tersebut menjadi pedoman dan harus dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dalam penegakan hukum hak cipta,” tegas Enny.

Baca Juga: Putusan MK: Penyelenggara Bertanggung Jawab Bayar Royalti Pertunjukan

Ia juga menegaskan bahwa penegakan sanksi pidana dimaksud harus dilakukan dengan pendekatan keadilan restoratif sebagai bagian dari penerapan prinsip ultimum remedium.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan oleh musisi Tubagus Arman Maulana (Armand Maulana), Nazril Irham (Ariel NOAH), serta 27 musisi dan penyanyi lainnya terkait norma Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Hak Cipta.

Adapun ketentuan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Hak Cipta berbunyi, “Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00.”

MK menegaskan bahwa penerapan sanksi pidana sebagai alternatif terakhir tersebut tidak hanya berlaku untuk pelanggaran hak ekonomi dalam pertunjukan ciptaan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f, tetapi juga terhadap bentuk pelanggaran lainnya.

Oleh karena itu, dalam amar putusannya, MK menyatakan frasa “huruf f” dalam Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Hak Cipta dimaknai menjadi “dalam penerapan sanksi pidana dilakukan dengan terlebih dahulu menerapkan prinsip restorative justice”.

 

(Sumber : Antara)

x|close