Wamenko Otto: Rehabilitasi ASDP Bukan Bentuk Intervensi Hukum

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 28 Nov 2025, 19:05
thumbnail-author
Satria Angkasa
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Wamenko Kumham Imipas) Otto Hasibuan menegaskan bahwa keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan hak rehabilitasi dalam kasus dugaan korupsi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) tidak dapat dipandang sebagai intervensi terhadap proses hukum.  Pernyataan tersebut disampaikan Otto seusai dipanggil Presiden ke Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, merespons kritik Indonesian Corruption Watch (ICW) yang menilai langkah itu berpotensi menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum.  “Bapak Presiden tidak mau ada orang yang tidak bersalah dihukum, dan tidak mau juga ada orang bersalah dibiarkan bebas,” kata Otto.  Ia menjelaskan bahwa kewenangan Presiden memberikan rehabilitasi diatur konstitusi melalui Pasal 14 UUD 1945, yang memberi Presiden hak prerogatif untuk mengeluarkan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Menurut Otto, pertimbangan Presiden dalam menggunakan kewenangan ini tidak selalu harus disampaikan ke publik.  “Konstitusi mengatakan Presiden berwenang memberikan rehabilitasi. Pertimbangan ini tentu hanya Presiden yang memahami alasan-alasannya,” ujarnya.  Otto mengatakan, dalam diskusinya dengan Presiden, ia melihat komitmen kuat Prabowo untuk menjaga rasa keadilan publik. Karena itu, keputusan rehabilitasi dinilai bukan upaya melemahkan proses hukum, melainkan menjalankan kewajiban konstitusional.  Ia juga membedakan rehabilitasi yuridis yang hanya dapat diberikan pengadilan untuk memulihkan nama baik terdakwa, dengan rehabilitasi konstitusional yang merupakan kewenangan Presiden.  “Jadi, jauh dari intervensi. Presiden melaksanakan hak dan kewajiban konstitusionalnya yang dipandang tepat untuk kepentingan bangsa dan negara,” katanya.  Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis kepada mantan Dirut ASDP Ira Puspadewi selama 4,5 tahun penjara, serta dua pejabat lainnya—Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono—masing-masing 4 tahun penjara, dalam kasus kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara dengan nilai kerugian negara yang disebut mencapai Rp1,25 triliun.  Namun, putusan itu tidak bulat. Ketua majelis hakim Sunoto menyampaikan dissenting opinion bahwa tidak terdapat unsur korupsi dalam perkara tersebut, dan menilai sengketa terkait lebih tepat diselesaikan melalui mekanisme perdata karena masuk kategori business judgement rule.  Di tengah perbedaan pandangan di internal majelis hakim tersebut, Presiden Prabowo kemudian menggunakan hak prerogatifnya untuk memberikan rehabilitasi kepada tiga pejabat ASDP tersebut. Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Wamenko Kumham Imipas) Otto Hasibuan menegaskan bahwa keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan hak rehabilitasi dalam kasus dugaan korupsi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) tidak dapat dipandang sebagai intervensi terhadap proses hukum. Pernyataan tersebut disampaikan Otto seusai dipanggil Presiden ke Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, merespons kritik Indonesian Corruption Watch (ICW) yang menilai langkah itu berpotensi menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum. “Bapak Presiden tidak mau ada orang yang tidak bersalah dihukum, dan tidak mau juga ada orang bersalah dibiarkan bebas,” kata Otto. Ia menjelaskan bahwa kewenangan Presiden memberikan rehabilitasi diatur konstitusi melalui Pasal 14 UUD 1945, yang memberi Presiden hak prerogatif untuk mengeluarkan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Menurut Otto, pertimbangan Presiden dalam menggunakan kewenangan ini tidak selalu harus disampaikan ke publik. “Konstitusi mengatakan Presiden berwenang memberikan rehabilitasi. Pertimbangan ini tentu hanya Presiden yang memahami alasan-alasannya,” ujarnya. Otto mengatakan, dalam diskusinya dengan Presiden, ia melihat komitmen kuat Prabowo untuk menjaga rasa keadilan publik. Karena itu, keputusan rehabilitasi dinilai bukan upaya melemahkan proses hukum, melainkan menjalankan kewajiban konstitusional. Ia juga membedakan rehabilitasi yuridis yang hanya dapat diberikan pengadilan untuk memulihkan nama baik terdakwa, dengan rehabilitasi konstitusional yang merupakan kewenangan Presiden. “Jadi, jauh dari intervensi. Presiden melaksanakan hak dan kewajiban konstitusionalnya yang dipandang tepat untuk kepentingan bangsa dan negara,” katanya. Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis kepada mantan Dirut ASDP Ira Puspadewi selama 4,5 tahun penjara, serta dua pejabat lainnya—Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono—masing-masing 4 tahun penjara, dalam kasus kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara dengan nilai kerugian negara yang disebut mencapai Rp1,25 triliun. Namun, putusan itu tidak bulat. Ketua majelis hakim Sunoto menyampaikan dissenting opinion bahwa tidak terdapat unsur korupsi dalam perkara tersebut, dan menilai sengketa terkait lebih tepat diselesaikan melalui mekanisme perdata karena masuk kategori business judgement rule. Di tengah perbedaan pandangan di internal majelis hakim tersebut, Presiden Prabowo kemudian menggunakan hak prerogatifnya untuk memberikan rehabilitasi kepada tiga pejabat ASDP tersebut. (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Wamenko Kumham Imipas) Otto Hasibuan menegaskan bahwa keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan hak rehabilitasi dalam kasus dugaan korupsi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) tidak dapat dipandang sebagai intervensi terhadap proses hukum.

Pernyataan tersebut disampaikan Otto seusai dipanggil Presiden ke Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, 28 November 2025, merespons kritik Indonesian Corruption Watch (ICW) yang menilai langkah itu berpotensi menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum.

“Bapak Presiden tidak mau ada orang yang tidak bersalah dihukum, dan tidak mau juga ada orang bersalah dibiarkan bebas,” kata Otto.

Ia menjelaskan bahwa kewenangan Presiden memberikan rehabilitasi diatur konstitusi melalui Pasal 14 UUD 1945, yang memberi Presiden hak prerogatif untuk mengeluarkan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Menurut Otto, pertimbangan Presiden dalam menggunakan kewenangan ini tidak selalu harus disampaikan ke publik.

“Konstitusi mengatakan Presiden berwenang memberikan rehabilitasi. Pertimbangan ini tentu hanya Presiden yang memahami alasan-alasannya,” ujarnya.

Baca Juga: KPK Belum Terima Keppres Rehabilitasi Ira Puspadewi

Otto mengatakan, dalam diskusinya dengan Presiden, ia melihat komitmen kuat Prabowo untuk menjaga rasa keadilan publik. Karena itu, keputusan rehabilitasi dinilai bukan upaya melemahkan proses hukum, melainkan menjalankan kewajiban konstitusional.

Ia juga membedakan rehabilitasi yuridis yang hanya dapat diberikan pengadilan untuk memulihkan nama baik terdakwa, dengan rehabilitasi konstitusional yang merupakan kewenangan Presiden.

“Jadi, jauh dari intervensi. Presiden melaksanakan hak dan kewajiban konstitusionalnya yang dipandang tepat untuk kepentingan bangsa dan negara,” katanya.

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis kepada mantan Dirut ASDP Ira Puspadewi selama 4,5 tahun penjara, serta dua pejabat lainnya—Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono—masing-masing 4 tahun penjara, dalam kasus kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara dengan nilai kerugian negara yang disebut mencapai Rp1,25 triliun.

Namun, putusan itu tidak bulat. Ketua majelis hakim Sunoto menyampaikan dissenting opinion bahwa tidak terdapat unsur korupsi dalam perkara tersebut, dan menilai sengketa terkait lebih tepat diselesaikan melalui mekanisme perdata karena masuk kategori business judgement rule.

Di tengah perbedaan pandangan di internal majelis hakim tersebut, Presiden Prabowo kemudian menggunakan hak prerogatifnya untuk memberikan rehabilitasi kepada tiga pejabat ASDP tersebut.

 

(Sumber : Antara)

x|close