Ntvnews.id, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Muharom Ahmad (MA), Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Haji, Umrah, dan Wisata Halal Nusantara (Gaphura), sebagai saksi dalam perkara dugaan korupsi penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama tahun 2023–2024.
“Pemeriksaan atas nama MA, Dewan Pembina Gaphura,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo ketika dikonfirmasi di Jakarta, Senin, 6 Oktober 2025.
Budi menjelaskan bahwa pemeriksaan terhadap saksi dilakukan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
Sebelumnya, pada 9 Agustus 2025, KPK resmi mengumumkan dimulainya penyidikan terkait dugaan korupsi dalam penentuan kuota haji di Kementerian Agama. Pengumuman ini dilakukan setelah KPK meminta keterangan dari mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada 7 Agustus 2025 dalam rangka penyelidikan awal.
Pada saat yang sama, KPK menyampaikan tengah berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk menghitung potensi kerugian negara.
Baca Juga: KPK Sebut Hanya Ada Satu Pengumpul Utama Uang Kasus Kuota Haji
Hasil penghitungan awal yang dipublikasikan KPK pada 11 Agustus 2025 menunjukkan bahwa kerugian negara akibat kasus tersebut diperkirakan mencapai lebih dari Rp1 triliun. Selain itu, lembaga antirasuah mencegah tiga orang bepergian ke luar negeri, termasuk mantan Menag Yaqut Cholil Qoumas.
Selanjutnya, pada 18 September 2025, KPK mengungkap adanya dugaan keterlibatan 13 asosiasi dan sekitar 400 biro perjalanan haji dalam kasus kuota haji ini.
Tidak hanya KPK, Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR RI juga menyatakan telah menemukan sejumlah kejanggalan dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024.
Salah satu hal utama yang disorot Pansus adalah soal pembagian tambahan kuota 20.000 jamaah dari Pemerintah Arab Saudi, yang dibagi secara merata 50 banding 50 untuk haji reguler dan haji khusus.
Baca Juga: KPK Panggil Mantan Bendahara Umum Amphuri Terkait Kasus Kuota Haji
Kementerian Agama saat itu menetapkan pembagian kuota tambahan menjadi 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Namun, langkah tersebut dinilai tidak sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang menetapkan bahwa kuota haji khusus hanya sebesar 8 persen, sementara 92 persen diperuntukkan bagi haji reguler.
(Sumber: Antara)