Bos Pajak Respons Fatwa MUI Pajak Berkeadilan: PBB Itu di Pemerintah Daerah

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 25 Nov 2025, 07:07
thumbnail-author
Muslimin Trisyuliono
Penulis
thumbnail-author
Beno Junianto
Editor
Bagikan
Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto saat ditemui awak media di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis, 6 November 2025. ANTARA/Bayu Saputra/am. Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto saat ditemui awak media di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis, 6 November 2025. ANTARA/Bayu Saputra/am. (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan buka suara terkait Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan fatwa untuk pajak yang berkeadilan.

Hal tersebut sebagai respons tentang masalah sosial yang muncul akibat adanya kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dinilai tidak adil, sehingga meresahkan masyarakat.

Dirjen Pajak Bimo Wijayanto mengatakan fatwa pajak berkeadilan yang ditetapkan oleh MUI merupakan jenis pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah.

“Sebenarnya yang ditanyakan itu PBB P2 (pajak bumi dan bangunan perkotaan dan perdesaan). Itu di (pemerintah) daerah,” ucap Bimo dikutip, Selasa 25 November 2025.

Baca juga: Dirjen Pajak Sebut Perlambatan Penerimaan Pajak Dipicu Lonjakan Restitusi 36,4 Persen

Atas objek pajak tersebut, regulasi yang ada telah menetapkan bahwa wewenangnya dikelola oleh pemda, termasuk soal kebijakan, tarif, penaikan dasar, hingga pengenaan tarif pajak.

Sementara objek PBB yang menjadi wewenang DJP berkisar pada sektor kelautan, perikanan, pertambangan, dan kehutanan.

“Kami juga sudah diskusi dengan MUI sebelumnya. Jadi, nanti coba kami tabayyun (mencari kejelasan) dengan MUI,” ujarnya pula.

Sebelumnya, Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh dalam Munas XI MUI mengatakan, objek pajak dikenakan hanya kepada harta yang dapat digunakan untuk produktivitas dan/atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier.

"Jadi pungutan pajak terhadap sesuatu yang jadi kebutuhan pokok, seperti sembako dan rumah serta bumi yang kita huni, itu tidak mencerminkan keadilan serta tujuan pajak," ujarnya di Jakarta, Minggu 23 November 2025.

Hal itu, katanya pula, karena pada hakikatnya, pajak hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan secara finansial.

“Kalau analog dengan kewajiban zakat, kemampuan finansial itu secara syariat minimal setara dengan nishab zakat mal yaitu 85 gram emas. Ini bisa jadi batas PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak),” kata dia pula.

Baca juga: Fatwa Baru MUI Protes Pajak Sembako dan PBB: Nggak Adil!

Oleh karena itu, MUI memberikan sejumlah rekomendasi, seperti peninjauan kembali terhadap beban perpajakan, terutama pajak progresif yang nilainya dirasakan terlalu besar.

Selain itu, pemerintah dan DPR dianggap berkewajiban mengevaluasi berbagai ketentuan perundang-undangan terkait dengan perpajakan yang tidak berkeadilan dan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.

Pemerintah juga dinilai wajib mengelola pajak dengan amanah dan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman. (Sumber:Antara)

x|close