Kemenperin Tolak Wacana Plain Packaging Rokok, Ini Alasannya

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 1 Okt 2025, 19:13
thumbnail-author
Muhammad Fikri
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Ilustrasi kemasan rokok. Ilustrasi kemasan rokok. (Ntvnews.id)

Ntvnews.id, Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan penolakannya terhadap rencana penerapan kebijakan plain packaging atau kemasan polos tanpa identitas merek pada produk rokok yang digagas Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Kemenperin menilai kebijakan tersebut dapat menghapus fungsi edukasi konsumen dan mengganggu ekosistem industri yang sudah diatur ketat melalui standar pelabelan nasional.

"Concern industri adalah bahwa mereka harus memberikan edukasi terhadap konsumennya melalui kemasan yang ada saat ini. Nah, itu tidak bisa dilakukan dengan plain packaging tadi itu," ujar Plt Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika dalam keterangannya, Rabu, 1 Oktober 2025.

Menurut Putu, regulasi yang sudah diterapkan saat ini, termasuk Standar Nasional Indonesia (SNI) dan kewajiban pelabelan produk, telah cukup memberikan transparansi informasi kepada masyarakat. Setiap pelaku usaha diwajibkan mencantumkan bahan baku dan informasi penting lainnya sesuai ketentuan.

“Untuk plain packaging, kami dari industri jelas tidak setuju,” tegasnya.

Baca Juga: Purbaya Santai Tanggapi Kritik Lewat Karangan Bunga Soal Cukai Rokok: Bunganya Wangi, Gak Apa-apa

Ia juga mengingatkan bahwa kebijakan tersebut berpotensi menghapus identitas merek yang telah dibangun industri melalui proses panjang. Kondisi ini bukan hanya mengancam stabilitas pasar yang telah terbentuk, tetapi juga bisa mendorong meningkatnya peredaran rokok ilegal.
Pemerintah sendiri tengah menghadapi tantangan besar dalam memberantas rokok ilegal.

Karena itu, setiap kebijakan diharapkan mampu menyeimbangkan aspek fiskal dan non-fiskal agar tidak membuka celah yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha ilegal.

Dari sisi fiskal, Putu menilai perlunya kebijakan cukai yang mendukung keberlangsungan industri legal dengan tidak menaikkan tarif secara agresif. Sementara itu, dari sisi non-fiskal, ia menyampaikan kekhawatiran pelaku usaha terhadap implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang menjadi dasar munculnya wacana plain packaging.

"Mudah-mudahan nanti saat proses harmonisasi, ini masih ada kesempatan untuk kita sampaikan masukan-masukan seperti itu," katanya.

Baca Juga: Wamenperin Apresiasi Keputusan Menkeu Purbaya Tahan Kenaikan Cukai Rokok: Langkah Strategis Lindungi Industri

Putu menegaskan, meski PP 28/2024 disusun dengan pendekatan kesehatan, implementasinya harus tetap mempertimbangkan keseimbangan antara tujuan kesehatan publik dan keberlangsungan ekonomi industri.

“Mudah-mudahan di dalam pembahasan-pembahasan ini bisa berjalan dengan mempertimbangkan semua aspek, karena kompleksitasnya sangat tinggi. Kita coba mengikuti arahnya, tapi bisa berjalan bersamaan,” imbuhnya.

Sebagai lembaga yang berperan menjaga dan memperkuat sektor industri nasional, Kemenperin berkomitmen memastikan agar industri hasil tembakau tetap berdaya saing. Salah satu prioritas utama adalah menjaga kapasitas produksi dalam negeri agar mampu memenuhi kebutuhan pasar nasional.

"Yang utama sekali adalah bagaimana kita mengisi pasar. Selama ada pasar, produksi ini harus kita isi. Kalau pasar ini tidak kita isi, pasti akan diisi oleh negara lain," jelas Putu.

Baca Juga: Rizky Ridho Masuk FIFPro Global Player Council 2025/2027

Ia juga menyoroti kontribusi besar sektor hasil tembakau terhadap perekonomian Indonesia.

Dalam beberapa tahun terakhir, kinerja ekspor produk tembakau nasional menunjukkan pertumbuhan signifikan.

“Di awal 2020-2021, ekspor kita baru antara US$60-80 juta. Dan sekarang sudah menjadi US$1,8 miliar. Bayangkan itu peningkatannya luar biasa,” ungkapnya.

Dengan capaian tersebut, Indonesia kini menempati posisi sebagai eksportir produk tembakau terbesar keempat di dunia. Putu menekankan, peluang besar di pasar global ini hanya dapat terus dimanfaatkan apabila regulasi yang diterapkan tetap seimbang, adil, dan tidak menghambat keberlanjutan industri.

(Sumber: Antara)

x|close