Ntvnews.id, Jakarta - Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI) menyuarakan keprihatinan mendalam atas rangkaian bencana ekologis yang melanda sejumlah daerah di Sumatera Utara dalam sepekan terakhir. Banjir, longsor, dan kerusakan lingkungan yang terjadi di Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat, dataran tinggi Karo, hingga kawasan Langkat dinilai sebagai peringatan keras bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap perizinan dan penegakan hukum lingkungan.
Direktur Eksekutif SMI, Kristian Redison Simarmata, mewakili badan pendiri Elfenda Ananda, menyampaikan bahwa berbagai bencana tersebut tak lagi bisa dipahami sebagai peristiwa alam semata.
“Bencana yang terjadi tidak lagi dapat dipahami sebagai fenomena alam semata, kerusakan yang terjadi merupakan konsekuensi logis dari kebijakan perizinan yang longgar, lemahnya pengawasan negara, pembiaran aktivitas ekstraktif yang merusak, serta konsesi luas yang justru diberikan di kawasan hulu, resapan air, perbukitan curam dan zona lindung," kata Kristian, dikutip dari laman Rmol Sumut, Kamis, 27 November 2025.
Menurut SMI, banjir dan longsor yang merusak permukiman serta menimbulkan korban jiwa merupakan akumulasi dari ketidakhadiran negara dalam mengendalikan pemanfaatan ruang dan pelestarian sumber daya alam. Kristian menjelaskan kondisi penurunan tutupan hutan yang mengkhawatirkan dalam dua dekade terakhir.
Baca Juga: Misteri Kayu Gelondongan di Banjir Tapteng, Warga Minta Telusuri Hulu Sungai
“Di banyak wilayah Tapanuli, tutupan hutan menurun drastis dalam 20 tahun terakhir, konsesi perkebunan, pertambangan dan galian C yang diberikan tanpa identifikasi dan verifikasi daya dukung lingkungan secara ketat, sehingga kawasan penyangga ekologis berubah fungsi menjadi area industri," ujarnya.
"Lereng curam yang seharusnya tetap berhutan, justru gundul akibat aktivitas pembalakan legal yang disetujui melalui izin, maupun pembalakan liar yang tidak pernah diberantas tuntas, sungai kehilangan vegetasi penahan dan perbukitan berubah menjadi area rentan erosi,” tambah Kristian.
Krisis ekologis ini, lanjut SMI, memperlihatkan masalah struktural lebih dalam terkait pelaksanaan mandat negara dalam mengelola sumber daya alam sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Konstitusi dengan jelas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Namun kenyataan di lapangan dinilai jauh dari prinsip tersebut.
“Namun kenyataan di Sumatera Utara memperlihatkan kesenjangan serius antara prinsip konstitusional dan praktik di lapangan. Banyak izin justru berpihak pada kepentingan modal yang mengedepankan keuntungan jangka pendek, bukan keselamatan ekologis dan keberlanjutan hidup masyarakat setempat,” ungkap mereka.
Baca Juga: BPBD Tapanuli Selatan Laporkan 15 Korban Jiwa Akibat Bencana Alam
SMI menegaskan bahwa negara tidak dapat memosisikan diri hanya sebagai pemberi izin, tetapi juga bertanggung jawab penuh atas dampak dari setiap izin yang dikeluarkan
“Ketika izin tersebut melahirkan bencana, tanggung jawab tidak dapat dibebankan kepada alam atau hujan ekstrem, akar masalahnya terletak pada lemahnya keberpihakan negara terhadap keselamatan rakyat, prinsip keselamatan warga harus menjadi orientasi utama kebijakan publik, bukan urusan sekunder yang dikorbankan demi investasi yang mempengaruhi fungsi alam,” pungkasnya.
Merespons kondisi bencana kali ini, SMI menilai tragedi tersebut sebagai bentuk kegagalan negara dalam mengendalikan alih fungsi lahan, mengawasi aktivitas ilegal, dan menata ruang berbasis data ekologis. Untuk itu, SMI mengajukan sejumlah tuntutan sebagai langkah pemulihan dan penyelamatan ruang hidup masyarakat.
Baca Juga: Banjir di Tapanuli Tengah yang Hanyut Malah Kayu Gelondongan
Pertama, menetapkan status bencana nasional untuk wilayah terdampak banjir dan longsor di Sumatera Utara mengingat skala kerusakan, banyaknya korban, serta ancaman bencana susulan. Kedua, melakukan audit total terhadap seluruh izin konsesi hutan, perkebunan, pertambangan, galian C, serta izin lain yang berpengaruh pada kawasan resapan air, perbukitan, dan zona lindung, terutama di wilayah Tapanuli, Danau Toba, dan dataran tinggi Karo–Pakpak Bharat.
Ketiga, mencabut semua izin yang terbukti merusak lingkungan, berada di kawasan lindung, tidak sesuai RTRW, atau yang mengabaikan fungsi ekologis hulu sungai. Keempat, menghentikan seluruh aktivitas tambang dan galian C di daerah rawan seperti perbukitan curam dan tepian sungai, serta menindak pelanggaran izin dengan sanksi administratif, perdata, maupun pidana.
Kelima, meminta penegakan hukum tegas terhadap seluruh aktor pelanggar, termasuk korporasi, pemodal, maupun pejabat yang diduga terlibat dalam manipulasi atau penyimpangan perizinan.
Banjir bandang di Tapanuli Selatan. (Rmol Sumut)