MK: Penangkapan Jaksa Wajib Izin Jaksa Agung, Kecuali OTT dan Kasus Pidana Mati

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 16 Okt 2025, 19:15
thumbnail-author
Naurah Faticha
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kanan) berbincang dengan Wakil Ketua MK Saldi Isra (kiri) saat memimpin sidang putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis, 16 Oktober 2025. Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pembacaan putusan/ketetapan untuk 17 perkara permohonan uji materi di antaranya pengujian materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. ANTARA FOTO/Fauzan/nym. (ANTARA FOTO/FAUZAN) Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kanan) berbincang dengan Wakil Ketua MK Saldi Isra (kiri) saat memimpin sidang putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis, 16 Oktober 2025. Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pembacaan putusan/ketetapan untuk 17 perkara permohonan uji materi di antaranya pengujian materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. ANTARA FOTO/Fauzan/nym. (ANTARA FOTO/FAUZAN) (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta — Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan bahwa penangkapan terhadap jaksa yang sedang melaksanakan tugas dan kewenangannya hanya dapat dilakukan dengan izin dari Jaksa Agung. Namun, pengecualian berlaku jika jaksa tersebut tertangkap tangan (OTT) atau diduga melakukan tindak pidana yang diancam hukuman mati.

Ketentuan itu tertuang dalam putusan MK yang mengabulkan sebagian uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Permohonan tersebut diajukan oleh aktivis Agus Setiawan dan advokat Sulaiman.

“Mengabulkan permohonan pemohon I dan pemohon II,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar Putusan Nomor 15/PUU-XXIII/2025 dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis, 16 Oktober 2025.

MK menilai Pasal 8 ayat (5) dalam UU Kejaksaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat kecuali dimaknai dengan adanya pengecualian tertentu.

Baca Juga: Jaksa Agung Mutasi 73 Pejabat, Termasuk Sejumlah Kepala Kejaksaan Tinggi

Mahkamah menjelaskan pengecualian itu mencakup kondisi tertangkap tangan melakukan tindak pidana, atau terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga jaksa melakukan kejahatan yang diancam pidana mati, kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus.

Sebelum putusan ini, bunyi Pasal 8 ayat (5) mengharuskan setiap tindakan pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya bisa dilakukan atas izin Jaksa Agung, tanpa pengecualian.

Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Konstitusi Arsul Sani menjelaskan bahwa perlindungan hukum terhadap aparat penegak hukum memang penting. Namun, perlindungan tersebut harus tetap sejalan dengan prinsip kesetaraan di depan hukum.

Menurutnya, ketentuan sebelumnya justru berpotensi menghambat penegakan hukum dan bertentangan dengan semangat keadilan.

Baca Juga: Jaksa Agung Tegaskan Sanksi Bagi Jaksa yang Bermain dalam Proyek Pemerintah

“Pengecualian perlakuan seharusnya tetap diperlukan dengan batas-batas yang wajar dan terukur,” kata Arsul. “Maka tidak ada pilihan lain bagi Mahkamah berkaitan dengan norma Pasal 8 ayat (5) UU 11/2021 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat.”

Selain itu, MK juga mengabulkan sebagian permohonan terkait Pasal 35 ayat (1) huruf e UU Kejaksaan, yang memberi kewenangan kepada Jaksa Agung untuk memberikan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung (MA) dalam perkara kasasi.

Mahkamah menilai, pasal tersebut tidak memberikan batasan yang jelas mengenai bentuk atau ruang lingkup pertimbangan teknis yang dapat disampaikan. Akibatnya, hal ini berpotensi menimbulkan intervensi terhadap proses pengambilan putusan di MA.

Dengan demikian, MK menyatakan Pasal 35 ayat (1) huruf e beserta penjelasannya bertentangan dengan konstitusi dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.

(Sumber: Antara) 

x|close