Ntvnews.id, Gaza - Hamas menyatakan kesediaannya untuk mencapai kesepakatan guna mengakhiri perang di Gaza dengan mengacu pada rencana perdamaian yang diusulkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Namun, kelompok tersebut menegaskan masih memiliki sejumlah tuntutan penting yang harus dipenuhi, menandakan bahwa perundingan tidak langsung dengan Israel di Mesir kemungkinan akan berjalan panjang dan sulit.
Dilansir dari Reuters, Rabu, 8 Oktober 2025, pejabat senior Hamas, Fawzi Barhoum, menjelaskan posisi Hamas dalam pernyataan memperingati dua tahun serangan terhadap Israel yang memicu perang Gaza. Pernyataan ini disampaikan satu hari setelah dimulainya perundingan tidak langsung antara Hamas dan Israel di Sharm el-Sheikh, Mesir.
Perundingan tersebut dianggap sebagai peluang paling menjanjikan untuk mengakhiri perang yang telah menewaskan puluhan ribu warga Palestina dan menghancurkan Gaza sejak serangan 7 Oktober 2023 ke wilayah Israel, yang menewaskan 1.200 orang dan menyebabkan 251 orang disandera di Gaza.
Meski begitu, pejabat dari berbagai pihak mengingatkan agar tidak terlalu optimistis terhadap tercapainya kesepakatan cepat, terutama karena Israel tengah memperingati salah satu hari paling kelam dalam sejarahnya sejak Holocaust, sementara warga Gaza menaruh harapan agar penderitaan mereka segera berakhir.
"Delegasi gerakan (Hamas) yang berpartisipasi dalam negosiasi saat ini di Mesir sedang berupaya mengatasi semua hambatan untuk mencapai kesepakatan yang memenuhi aspirasi rakyat kami di Gaza," kata Barhoum dalam sebuah pernyataan yang disiarkan televisi.
Baca Juga: Hamas Desak Mesir untuk Sepakati Gencatan Senjata di Gaza
Menurutnya, kesepakatan damai harus menjamin berakhirnya perang dan penarikan penuh pasukan Israel dari Jalur Gaza, dua hal yang hingga kini belum pernah disetujui oleh Israel. Di sisi lain, Israel menuntut agar Hamas melucuti senjatanya, syarat yang ditolak tegas oleh kelompok tersebut.
Hamas, lanjut Barhoum, menuntut gencatan senjata permanen dan menyeluruh, penarikan total pasukan Israel dari wilayah Gaza, serta dimulainya proses rekonstruksi besar-besaran di bawah pengawasan “badan teknokratis nasional” Palestina.
Sebagai penegasan atas hambatan yang dihadapi, sejumlah faksi Palestina, termasuk Hamas, mengeluarkan pernyataan bersama yang menegaskan tekad untuk "menentang dengan segala cara" dan bahwa "tidak seorang pun berhak menyerahkan senjata rakyat Palestina."
Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu belum memberikan komentar terkait perkembangan perundingan di Sharm el-Sheikh.
Pihak Amerika Serikat menyatakan ingin memfokuskan negosiasi pada penghentian pertempuran dan pembebasan para sandera serta tahanan politik. Namun, Qatar yang juga berperan sebagai mediator menilai masih banyak detail yang perlu disepakati, menandakan kecil kemungkinan kesepakatan tercapai dalam waktu dekat.
Tanpa adanya gencatan senjata, Israel terus melancarkan serangan di Gaza, yang memperburuk isolasi internasionalnya dan memicu gelombang protes pro-Palestina di berbagai negara.
Baca Juga: Hamas Diskusikan 20 Poin Perdamaian Gaza yang Diinisiasi Trump
Dalam peringatan dua tahun serangan 2023, sejumlah warga Israel mengunjungi lokasi tragedi terdahsyat. Orit Baron, seorang warga, berdiri di lokasi festival musik Nova di Israel selatan, di samping foto putrinya Yuval yang tewas bersama tunangannya, Moshe Shuva.
“Mereka seharusnya menikah pada 14 Februari, Hari Valentine. Dan kedua keluarga memutuskan, karena mereka ditemukan (meninggal) bersama dan mereka membawa mereka kepada kami bersama-sama, bahwa pemakamannya akan dilakukan bersamaan,” tutur Baron.
“Mereka dimakamkan bersebelahan karena mereka tidak pernah dipisahkan,” lanjutnya.
Israel berharap perundingan di Sharm el-Sheikh dapat membuka jalan bagi pembebasan 48 sandera yang masih ditawan di Gaza, di mana 20 di antaranya diyakini masih hidup. “Rasanya seperti luka terbuka, para sandera, saya tak percaya sudah dua tahun berlalu dan mereka masih belum pulang,” ujar Hilda Weisthal, 43 tahun.
Sementara itu, di Gaza, seorang warga bernama Mohammed Dib (49) menyuarakan harapan yang sama agar perang segera berakhir.
“Sudah dua tahun kami hidup dalam ketakutan, kengerian, pengungsian, dan kehancuran,” katanya.
“Kami berharap melalui perundingan ini akan tercapai gencatan senjata dan akhir yang nyata bagi perang ini,” tambahnya.