Kemkomdigi Tegaskan Pasal Perlindungan Wartawan Tidak Multitafsir

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 6 Okt 2025, 17:17
thumbnail-author
Muhammad Fikri
Penulis
thumbnail-author
Dedi
Editor
Bagikan
Tangkapan layar - Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Kementerian Komdigi Fifi Aleyda Yahya menyampaikan keterangan pemerintah dalam sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Pers yang diajukan Ikatan Wartawan Hukum di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Senin (6/10/2025). Tangkapan layar - Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Kementerian Komdigi Fifi Aleyda Yahya menyampaikan keterangan pemerintah dalam sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Pers yang diajukan Ikatan Wartawan Hukum di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Senin (6/10/2025). (ANTARA)

Ntvnews.id, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) menegaskan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak bersifat multitafsir, sebagaimana yang didalilkan oleh Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) dalam uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).

Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Kemkomdigi, Fifi Aleyda Yahya, menyampaikan hal tersebut dalam sidang lanjutan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Senin, 6 Oktober 2025 Menurutnya, dalil para pemohon yang menyebut Pasal 8 multitafsir tidak berdasar karena pasal tersebut sudah memiliki penjelasan yang jelas.

“Dalil para pemohon yang menyebut Pasal 8 multitafsir [adalah] tidak berdasar karena penjelasan Pasal 8 sudah tegas menyebut perlindungan hukum adalah jaminan pemerintah dan/atau masyarakat kepada wartawan sesuai peraturan perundang-undangan,” kata Fifi.

Baca Juga: Kemkomdigi: Blokir IMEI Bukan untuk Balik Nama, Tapi Perlindungan Jika Ponsel Hilang atau Dicuri

Fifi, yang juga mantan wartawan, menjelaskan bahwa Pasal 8 UU Pers justru bersifat norma terbuka yang memberikan fleksibilitas dalam pelaksanaannya. Pasal tersebut berbunyi, “dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.”

Ia menambahkan, risalah pembahasan UU Pers menunjukkan bahwa perlindungan hukum bagi wartawan tidak bersifat absolut, melainkan perlindungan bersyarat dalam kerangka negara hukum.

“Perlindungan hukum bagi wartawan juga dijamin dalam pasal-pasal lain UU Pers yang mengatur asas dan fungsi pers, hak pers, kewajiban pers, peranan pers, andil perusahaan pers, fungsi Dewan Pers, dan ketentuan pidana yang termaktub dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 7, dan Pasal 10, Pasal 15, serta Pasal 18,” imbuhnya.

Selain itu, Fifi juga menyoroti berbagai langkah nyata yang telah dilakukan negara untuk melindungi wartawan. Di antaranya melalui berbagai peraturan dan pedoman Dewan Pers, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2008, Surat Keputusan Bersama Dewan Pers, LPSK, dan Komnas Perempuan Tahun 2025 tentang Mekanisme Keselamatan Pers, serta perjanjian kerja sama antara Dewan Pers dan Polri tahun 2022 yang berlaku hingga 2027.

Baca Juga: Menteri PPPA: Renstra Kementerian Harus Beri Dampak pada Perubahan Perilaku Masyarakat

“Dapat disimpulkan, ketentuan Pasal 8 UU Pers tidak bersifat multitafsir sebagaimana dinyatakan oleh para pemohon, karena dikaitkan dengan perundang-undangan lainnya telah terdapat suatu pranata hukum yang menjamin hak atas jaminan kepastian hukum dan hak atas perlindungan diri pribadi, kehormatan, dan martabat untuk wartawan yang menjalankan tugas profesinya,” ujar Fifi.

Atas dasar itu, pemerintah meminta Mahkamah Konstitusi untuk menolak seluruh permohonan Iwakum dalam perkara nomor 145/PUU-XXIII/2025.

Perkara ini diajukan oleh Iwakum yang diwakili oleh Ketua Umum Irfan Kamil, Sekretaris Jenderal Ponco Sulaksono, serta wartawan media nasional Rizky Suryarandika.

Mereka mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 8 UU Pers karena dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Para pemohon berpendapat bahwa pasal tersebut tidak memberikan kepastian hukum yang jelas bagi wartawan untuk memperoleh perlindungan dalam menjalankan profesinya.

Baca Juga: Pelatih Tim Karate SEA Games 2025, Gusti Idris Meninggal Dunia di Malaysia

Frasa “perlindungan hukum” dalam pasal itu, menurut para pemohon, bersifat multitafsir dan tidak menjelaskan mekanisme atau prosedur perlindungan hukum yang spesifik, terutama ketika wartawan berhadapan dengan aparat penegak hukum atau menghadapi gugatan atas pemberitaan.

Dalam permohonannya, Iwakum meminta agar Pasal 8 UU Pers dimaknai menjadi, “termasuk tindakan kepolisian dan gugatan perdata tidak dapat dilakukan kepada wartawan dalam melaksanakan profesinya berdasarkan kode etik pers” atau “termasuk tindakan pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap wartawan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pers.”

(Sumber: Antara)

x|close