Said Didu Ungkap Kisah Smelter IMIP: Banyak “Bintang-Bintang” dan Izin Lewat Jendela

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 27 Nov 2025, 10:15
thumbnail-author
Dedi
Penulis & Editor
Bagikan
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu (Tangkapan Layar: Twitter)

Ntvnews.id, Jakarta - Isu terkait pembangunan smelter dan kawasan industri PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Morowali, Sulawesi Tengah, kembali menarik perhatian publik. Mantan Staf Khusus Menteri ESDM, Said Didu, mengungkap sejumlah kejanggalan dalam pembangunan IMIP.

Menurut Said, sejak kunjungannya ke IMIP pada 2015 saat menjabat staf khusus Menteri ESDM, Sudirman Said, ia sudah melihat pembangunan smelter dilakukan tanpa izin yang semestinya.

“Pembangunan IMIP ini lewat jendela, bukan lewat pintu. Seharusnya izinnya dari Menteri ESDM, tapi yang mengeluarkan izin justru Menteri Perindustrian,” ujarnya dalam wawancara di kanal Youtube Manusia Merdeka Kamis, 27 November 2025.

Said menambahkan bahwa sebagian besar direksi PT IMIP adalah mantan pejabat Kementerian Perindustrian. Bahkan, ada mantan direktur jenderal yang duduk sebagai direktur di perusahaan tersebut. Hal ini memudahkan perusahaan untuk membangun smelter raksasa. 

“Saat itu perusahaan belum memiliki IUP, namun smelter besar sudah dibangun,” jelasnya.

Ia menilai pembangunan ini sengaja dilakukan melalui celah regulasi, bersamaan dengan isu pelarangan ekspor ore nikel oleh pemerintah beberapa tahun kemudian.

Baca Juga: VIDEO: Banjir Hantam Kota Padang

“Setelah smelter jadi, semua ore hanya bisa dijual ke IMIP. Ini menciptakan monopoli terselubung karena mereka satu-satunya pembeli,” kata Said.

Said juga menyoroti berbagai fasilitas besar yang diberikan pemerintah kepada IMIP, mulai dari pembebasan pajak, kemudahan memasukkan tenaga kerja asing, hingga percepatan pembangunan infrastruktur di sekitar kawasan industri. Bahkan, pelabuhan besar milik IMIP disebut rawan menjadi celah masuknya tenaga kerja asing tanpa pengawasan ketat.

“Saya tidak tahu apakah bea cukai dan imigrasi benar-benar ada dan berfungsi di pelabuhan itu. Potensi keluar-masuknya pekerja asing lewat laut sangat besar,” ujarnya.

Bandara PT IMIP dan Pesawat Jet Pribadi <b>(Google Maps)</b> Bandara PT IMIP dan Pesawat Jet Pribadi (Google Maps)

Tenaga kerja asing pun dikabarkan digunakan untuk pekerjaan dasar, termasuk pemasangan batako. Selain itu, Said menyebut IMIP memiliki bandara sendiri yang berlokasi bersebelahan dengan kawasan industri. Hal ini sangat memudahkan keluar-masuknya tenaga kerja.

Dalam pandangan Said, kawasan industri pertambangan dan smelter di bawah era pemerintahan Jokowi berkembang menjadi semacam “negara dalam negara” karena tertutup dan minim pengawasan publik. Ia juga menyebut kawasan tambang lain, seperti Weda Bay di Maluku Utara, yang juga memiliki fasilitas industri, pelabuhan, dan bandara privat yang sulit diakses masyarakat.

Dalam kunjungannya ke Morowali pada 2015 dan 2025, Said mengaku tidak melihat peningkatan signifikan pada kesejahteraan masyarakat setempat, meskipun nilai ekspor nikel mencapai triliunan rupiah.

Baca Juga: Petugas KAI Dipecat Imbas Tumbler Hilang, Suami Anita Klaim Sudah Kantongi Rekaman CCTV

“Mall terbesar masih minimarket. Mobil baru hampir tidak ada. Infrastruktur publik tidak berkembang signifikan. Nikel yang keluar ribuan triliun, tapi hanya puluhan miliar yang masuk ke daerah,” ungkapnya.

Said juga menyinggung dugaan penyelundupan ore nikel senilai Rp14,5 triliun, yang menurut temuan KPK tidak tercatat di sistem Indonesia, tetapi tercatat di Tiongkok. Ia menduga penyelundupan ini kemungkinan dilakukan melalui pelabuhan khusus milik IMIP karena volume ekspor besar terkonsentrasi di sana.

Ia menyebutkan bahwa IMIP dibangun oleh pihak yang ia sebut “bintang-bintang”, mengacu pada sejumlah mantan pejabat kementerian yang menduduki posisi strategis dalam perusahaan.

“Waktu saya masih menjabat sebagai staf khusus Menteri Sudirman Said, saya sudah datang ke sana. PT IMIP ini di belakangnya adalah bintang PT Bintang 8 yang isinya memang “bintang-bintang”. Itu perbatasan Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah,” katanya.

Menurut Said, semua kemudahan itu membuat pembangunan smelter dan fasilitas terkait berjalan cepat, termasuk hotel, pelabuhan, dan kawasan berikat. Ia menilai proses ini sengaja dilakukan untuk memanfaatkan pelarangan ekspor ore.

“Karpet merah diberikan oleh mantan Presiden saat itu,” tambahnya.

Kontroversi yang diungkap Said Didu kembali membuka perhatian publik terhadap skema pembangunan smelter besar di Indonesia, peran mantan pejabat dalam industri, serta implikasi kebijakan pemerintah bagi kesejahteraan rakyat dan pengawasan sumber daya alam.

x|close