SMAN 72 Dibom, KPAI Minta Perubahan Perilaku Siswa Diperhatikan

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 12 Nov 2025, 08:57
thumbnail-author
Moh. Rizky
Penulis
thumbnail-author
Siti Ruqoyah
Editor
Bagikan
Suasana di SMAN 72 Jakarta di Kelurahan Kelapa Gading Barat, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara pada Senin, 10 November 2025. ANTARA/Mario Sofia Nasution. Suasana di SMAN 72 Jakarta di Kelurahan Kelapa Gading Barat, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara pada Senin, 10 November 2025. ANTARA/Mario Sofia Nasution. (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Bom meledak di masjid kompleks SMAN 72 Jakarta, Jumat, 7 November 2025, sehingga melukai 96 orang. Pelaku adalah siswa kelas 12 sekolah itu. Remaja 17 tahun tersebut, melakukan aksinya lantaran merasa sendiri dan menaruh dendam atas perlakuan orang-orang kepada dirinya sejak lama.

Menyikapi kondisi ini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta adanya sistem deteksi dini guna mencegah peristiwa serupa berulang. KPAI memandang literasi digital anak juga sangat diperlukan.

"Tanpa literasi digital yang kuat, anak dapat dengan mudah terpapar konten yang mengandung kekerasan, kebencian, dan ideologi ekstrim yang dibalut dengan moralitas palsu," ujar Komisioner KPAI Aris Adi Leksono, Rabu, 12 November 2025.

"Fenomena digital grooming ideologis semakin marak, di mana anak dijadikan sasaran untuk mengadopsi pandangan ekstrem melalui interaksi daring yang tampak ramah dan edukatif," imbuhnya.

KPAI sudah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan DKI Jakarta, pihak sekolah dan kepolisian, untuk memastikan proses penanganan dilakukan dengan pendekatan perlindungan anak. Di samping itu, perlu pemulihan psikososial, baik untuk korban maupun pelaku.

"KPAI mendorong langkah-langkah strategis, pertama, penguatan sistem peringatan dini (early warning system) di lingkungan sekolah untuk mendeteksi dini perubahan perilaku siswa, termasuk isolasi sosial, ujaran kebencian, atau ketertarikan terhadap konten kekerasan," jelasnya.

KPAI juga berharap adanya pengembangan support system sekolah oleh guru, psikolog, hingga orang tua. Ini guna membangun komunikasi terbuka dan empatik terhadap siswa.

Lalu, diperlukan pendidikan literasi digital anti-kekerasan agar siswa mampu mengenali dan menolak konten ekstrem di dunia maya. Selain itu, perlu juga adanya penguatan regulasi dan standar operasional prosedur (SOP).

"KPAI menegaskan bahwa setiap anak, baik pelaku maupun korban, berhak mendapatkan perlindungan, bimbingan, dan kesempatan untuk pulih," kata Aris.

"Kekerasan dan faham ekstremisme, bukan hanya masalah individu, tetapi cermin dari ekosistem pendidikan yang perlu diperkuat secara menyeluruh, dari keluarga, sekolah, komunitas, hingga ruang digital," sambungnya.

x|close