Ntvnews.id, Gaza - Jalur Gaza sedang mengalami kondisi kemanusiaan yang semakin kritis, dengan berbagai rumah sakit dan layanan dasar menghadapi tekanan berat meskipun gencatan senjata antara Israel dan Hamas telah diberlakukan sejak 10 Oktober.
Dilansir dari DW, Selasa, 2 Desember 2025, setelah 50 hari masa gencatan senjata berlangsung, sebagian besar dari sekitar 2 juta penduduk Gaza masih bertahan hidup di tenda-tenda dan tempat penampungan sementara, tanpa adanya tanda-tanda signifikan bahwa situasi kehidupan mereka akan membaik.
Infrastruktur air dan sanitasi rusak parah, sampah dan puing bangunan menumpuk, banyak jalan masih tak bisa dilalui, sementara fasilitas kesehatan kekurangan pasokan medis penting.
Union of Municipalities di Gaza memperingatkan bahwa krisis bahan bakar yang semakin akut kini menghambat layanan vital, karena otoritas Israel terus menahan pasokan bahan bakar.
Baca Juga: Korban Tewas di Gaza Sejak Oktober 2023 Tembus 70 Ribu Jiwa
Israel "terus menghalangi masuknya bahan bakar yang dibutuhkan untuk mengoperasikan fasilitas-fasilitas vital", ungkap Alaa al-Din al-Batta, wakil presiden organisasi tersebut, dalam konferensi pers di Khan Younis.
Ia menuturkan bahwa pasokan bahan bakar yang diterima pemerintah kota hanya cukup untuk lima hari kerja sejak gencatan senjata dimulai, sehingga menghambat proses pembersihan jalan, pemindahan puing, serta layanan penting bagi keluarga pengungsi.
Al-Batta meminta pengiriman segera generator, sistem tenaga surya, suku cadang, dan alat berat, seraya menegaskan bahwa krisis ini mengancam operasi kemanusiaan sehari-hari. Rumah sakit pun menghadapi kekurangan obat-obatan dan peralatan medis yang membatasi kemampuan mereka menangani pasien sakit maupun terluka.
Truk yang membawa makanan dan pasokan medis milik Program Pangan Dunia (WFP) memasuki Gaza melalui perlintasan perbatasan Rafah, saat konflik penuh ketegangan antara Israel dan Hamas terus berlanjut, untuk mencapai Jalur Gaza, 18 Oktober 2025. (ANTAR (Antara)
Bassam Zaqout, direktur bantuan medis di Gaza, mengatakan bahwa sistem kesehatan tetap berjalan dengan sumber daya yang sangat minim, sama seperti saat perang berlangsung, karena belum ada rekonstruksi fasilitas kesehatan yang rusak. Ia juga menyebutkan bahwa pembatasan Israel terhadap delegasi medis memperburuk kelangkaan tenaga ahli, obat, dan alat laboratorium.
Otoritas kesehatan mengingatkan bahwa layanan spesialis mata terancam berhenti akibat peralatan diagnostik dan bedah yang rusak, terbatasnya obat, serta waktu tunggu pasien yang sangat panjang. Mereka mengatakan ada 4.000 pasien glaukoma yang berisiko kehilangan penglihatan tanpa pasokan darurat.
Di tengah krisis ini, kekerasan kembali meningkat. Sumber keamanan Palestina melaporkan bahwa pasukan Israel menembakkan artileri dan senjata berat pada Minggu pagi waktu setempat di timur kamp pengungsi Bureij di Gaza tengah, melancarkan enam serangan udara di wilayah Rafah timur, serta menembakkan artileri ke sebuah rumah di Bani Suheila dekat Khan Younis. Tidak ada korban jiwa dari serangan terhadap rumah tersebut.
Baca Juga: TNI AU Siagakan 3.650 Personel untuk Misi Perdamaian di Gaza
Pejabat kesehatan melaporkan sedikitnya tiga orang tewas dalam 24 jam terakhir, menjadikan total korban jiwa sejak gencatan senjata 10 Oktober mencapai 357 orang, dengan 908 lainnya luka-luka. Sejak 7 Oktober 2023, otoritas kesehatan mencatat 70.103 korban tewas dan 170.985 lainnya terluka.
Kantor media pemerintah yang dikelola Hamas menuduh Israel melakukan 591 pelanggaran gencatan senjata, termasuk serangan artileri, penembakan, dan penghancuran infrastruktur. Mereka menilai tindakan itu sebagai "pelanggaran terang-terangan terhadap hukum humaniter internasional" dan mendesak Amerika Serikat, para mediator, serta Dewan Keamanan PBB untuk segera bertindak.
Otoritas Pertahanan Sipil Gaza mengatakan sekitar 10.000 jenazah masih tertimbun di bawah bangunan runtuh, meski jumlah pastinya sulit dipastikan akibat kondisi kerja yang sangat terbatas. Mahmoud Basal, juru bicara lembaga tersebut, mengatakan bahwa sejak gencatan senjata hanya satu ekskavator yang berhasil masuk ke Gaza, jumlah yang jauh dari cukup untuk mengevakuasi korban.
"Setiap hari, kami menerima banyak permintaan dari keluarga-keluarga yang meminta kami mengevakuasi jenazah anggota keluarga mereka," ujar Basal, sambil menyerukan agar lebih banyak alat berat dapat segera dikirim masuk dengan aman.
Seorang wanita duduk di dekat puing-puing sebuah bangunan yang hancur akibat serangan udara Israel di Jalur Gaza, 12 Mei 2023. Kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan kekhawatiran atas serangan Israel di Gaza yang menewas (Antara)