Ntvnews.id, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI meminta pemerintah memastikan kebijakan penghapusan status guru honorer pada akhir 2025, tak menimbulkan ketidakpastian dan kerentanan baru bagi para pendidik. Hal ini dinyatakan Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian, bertepatan dengan Hari Guru Nasional.
Menurut dia, Hari Guru bukan sekadar seremoni, tetapi momentum moral untuk memastikan perlindungan profesi dan kesejahteraan guru diwujudkan melalui kebijakan nyata.
"Pemerintah harus menunjukkan penghormatan nyata kepada guru: pastikan masa depan mereka terjamin. Reformasi kepegawaian harus menjadi revolusi kesejahteraan guru, bukan beban baru," ujar Hetifah, Kamis, 27 November 2025.
Ia menilai, penghapusan status honorer bukan sekadar bagian dari reformasi birokrasi, namun peluang untuk menyelesaikan masalah struktural yang selama ini membelit guru honorer. Mulai dari ketidakpastian status, sampai timpangnya kesejahteraan.
Hetifah meminta guru honorer yang telah mengabdi bertahun-tahun mendapat akses prioritas dalam penataan, baik melalui pengangkatan sebagai PPPK maupun seleksi terbuka yang adil dan nondiskriminatif.
Baca Juga: Istana Sebut Usulan Hak Rehabilitasi dari Prabowo dalam Kasus ASDP Berasal dari DPR
Baca Juga: DPR Minta Kemenkes Sanksi RS yang Tolak Bumil: Kebangetan Ini!
"Tidak boleh lagi pengabdian belasan tahun terbayar dengan ketidakpastian," ucapnya.
Hetifah pun mengatakan bahwa penghapusan nomenklatur honorer tak boleh dimaknai sebagai penghapusan hak. Hak atas penghasilan layak, tunjangan tetap, jaminan sosial, dan perlindungan hukum harus menjadi standar minimum dalam skema baru.
Ia mengingatkan perbedaan pengelolaan antara guru sekolah umum (Kemendikbudristek) dan guru madrasah (Kemenag). Hetifah meminta koordinasi lintas kementerian yakni antara Kemenag, KemenPAN-RB, Kemendikbudristek, pemerintah daerah (pemda), dan BKN, harus diperkuat untuk mencegah adanya guru yang tersisih dari proses transisi.
"Jangan sampai terjadi dua kecepatan: satu guru diuntungkan, yang lain tertinggal," ucap politikus Golkar.
Hetifah mengatakan, bahwa sesuai amanat UU ASN dan regulasi turunannya, mulai akhir 2025 status guru honorer tidak lagi digunakan. Seluruh guru non-ASN yang memenuhi syarat akan diarahkan masuk dalam skema PPPK Paruh Waktu.
Walau begitu, sampai saat ini penetapan dan pengangkatan PPPK Paruh Waktu masih menunggu ketentuan teknis dari KemenPAN-RB dan BKN. Keterlambatan ini, kata dia, berpotensi menciptakan ketidakpastian di daerah.
Guna mencegah kekosongan guru di sekolah, pemda tetap dapat mengusulkan kebutuhan formasi guru melalui mekanisme instansional masing-masing ketika formasi nasional belum dibuka.
Ia memandang, isu guru honorer bukan sekadar persoalan administratif, melainkan isu keadilan sosial dan kedaulatan pendidikan nasional.
"Jika kebijakan ini gagal, kita mengirim pesan bahwa pengabdian guru bukan investasi bangsa, tapi beban yang bisa dicabut kapan saja," jelasnya.
"Kita berbicara tentang ribuan guru yang mempertaruhkan kehidupan mereka demi generasi bangsa. Pemerintah harus menunjukkan bahwa mereka adalah prioritas, bukan pelengkap anggaran," sambung dia.
Hetifah menegaskan, DPR RI akan menggunakan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan untuk memastikan transisi penghapusan honorer berjalan adil, manusiawi, dan sesuai amanat undang-undang.
"Hari ini kita tidak sekadar memperingati Hari Guru Nasional. Kita menegaskan bahwa penghargaan terhadap guru harus diterjemahkan dalam regulasi, anggaran, dan tindakan nyata," tandasnya.
Ketua Komisi X DPR RI (Hetifah Sjaifudian) (Instagram)