PBB Kecam RSF Atas Eksekusi dan Kekerasan Seksual di El-Fasher Sudan

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 5 Nov 2025, 05:00
thumbnail-author
Deddy Setiawan
Penulis
thumbnail-author
Beno Junianto
Editor
Bagikan
Foto yang diambil pada 11 Desember 2024 menunjukkan rumah-rumah yang rusak akibat tembakan artileri di kamp pengungsian di El Fasher, Ibu Kota Negara Bagian Darfur Utara, Sudan. Foto yang diambil pada 11 Desember 2024 menunjukkan rumah-rumah yang rusak akibat tembakan artileri di kamp pengungsian di El Fasher, Ibu Kota Negara Bagian Darfur Utara, Sudan. (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa konflik berkepanjangan di Sudan terus menimbulkan penderitaan besar bagi masyarakat sipil, dengan laporan serius mengenai “eksekusi dan kekerasan seksual” yang dilakukan pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF). Sementara itu, ribuan warga masih terjebak di kota El-Fasher yang saat ini dikepung dan terisolasi.

“Kami terus menerima laporan kredibel mengenai eksekusi dan kekerasan seksual. Lebih dari seminggu setelah pengambilalihan oleh pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF), kota ini masih terisolasi dan warga sipil tidak bisa keluar,” kata juru bicara PBB Farhan Haq dalam konferensi pers di New York, Amerika Serikat, sebagaimana dikutip dari AFP, Rabu, 5 November 2025.

Ia melanjutkan bahwa situasi kemanusiaan di El-Fasher semakin memburuk.

“Ratusan warga sipil, termasuk pekerja kemanusiaan, dilaporkan tewas, sementara jumlah besar tetap terjebak di dalam kota dengan sedikit atau tanpa komunikasi ke dunia luar,”
tambah Haq.

Baca Juga: Korban Luka Gempa Afghanistan Capai Lebih dari 850 Orang

Menurut laporan yang dikutip dari Anadolu Agency, Rabu, 5 November 2025, Haq menegaskan bahwa pengiriman bantuan kemanusiaan masih diblokir oleh RSF, sebuah tindakan yang dinilainya melanggar hukum humaniter internasional karena menghalangi akses bagi warga sipil yang membutuhkan pertolongan segera.

Ia mengutip laporan dari Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) yang menyebut bahwa,

“Hambatan oleh RSF tidak dapat diterima dan menuntut akses segera tanpa hambatan bagi orang-orang yang terperangkap di El-Fasher. Penghentian permusuhan segera sangat penting untuk melindungi warga sipil.”

Foto yang diambil dengan ponsel pada 13 Desember 2024 ini menunjukkan pemandangan Rumah Sakit Saudi setelah serangan rudal di El Fasher, ibu kota Negara Bagian Darfur Utara di Sudan barat. <b>((Antara))</b> Foto yang diambil dengan ponsel pada 13 Desember 2024 ini menunjukkan pemandangan Rumah Sakit Saudi setelah serangan rudal di El Fasher, ibu kota Negara Bagian Darfur Utara di Sudan barat. ((Antara))

Selain di El-Fasher, Haq juga menggambarkan kondisi di kota Tawila, dekat Darfur Utara, sebagai “sangat buruk,” di mana banyak keluarga terpaksa tinggal di tempat penampungan darurat dengan persediaan makanan dan air yang semakin menipis.

Kekerasan juga dilaporkan meningkat di wilayah Kordofan. Haq menyebut adanya laporan mengenai “pelanggaran berat, termasuk dugaan eksekusi singkat terhadap warga sipil.” Sementara di Kordofan Selatan, UNICEF melaporkan bahwa delapan anak tewas dan tiga lainnya terluka akibat serangan misil yang menghantam kamp pengungsi pada Jumat lalu.

Baca Juga: Erick Thohir Doakan Timnas U-17 Indonesia Sukses di Piala Dunia 2025

“OCHA kembali menyerukan pendanaan darurat yang fleksibel untuk mendukung jutaan orang yang terdampak konflik parah di Sudan,” ujar Haq, mendesak negara-negara donor meningkatkan dukungan kemanusiaan.

Saat ini, dengan hanya dua bulan tersisa di tahun 2025, rencana respons kemanusiaan Sudan baru terealisasi 28%, dengan pendanaan sebesar USD 1,17 miliar dari kebutuhan total USD 4,16 miliar.

Pasukan RSF baru-baru ini juga dilaporkan menguasai kota Bara di Darfur Utara, memperluas wilayah kendalinya meski mereka membantah menargetkan warga sipil. Pada 26 Oktober, RSF mengambil alih El-Fasher, yang merupakan ibu kota Darfur Utara, dan diduga melakukan pembantaian massal terhadap warga sipil, sebagaimana dilaporkan oleh berbagai organisasi lokal dan internasional.

Serangan ini dikhawatirkan akan memperkuat pemisahan geografis Sudan, memperburuk perpecahan antara wilayah utara dan selatan negara tersebut.

Sejak 15 April 2023, konflik antara tentara Sudan dan RSF belum menunjukkan tanda-tanda mereda, meskipun berbagai upaya mediasi regional dan internasional telah dilakukan. Pertempuran tersebut telah menewaskan ribuan orang dan memaksa jutaan warga mengungsi dari rumah mereka, meninggalkan Sudan dalam krisis kemanusiaan yang semakin dalam.

x|close