Ntvnews.id, Jakarta - Aparat penegak hukum (APH) diminta mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam menangani kasus dugaan korupsi yang melibatkan PT Pertamina Patra Niaga. Penegakan hukum diharapkan tak serampangan hingga mengkriminalisasi kontrak bisnis perdata antara BUMN dengan pihak swasta.
Hal ini disampaikan Dr. Hendra Karianga, SH.MH., dosen Pasca Sarjana Universitas Khairun Ternate dan Fakultas Hukum Universita Halmahera, menanggapi persidangan kasus dugaan korupsi jual beli BBM non-subsidi antara PT Pertamina Patra Niaga dan 13 perusahaan industri, termasuk PT Nusa Halmahera Minerals (NHM), di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), disebutkan PT NHM memperoleh keuntungan sebesar Rp14 miliar dari transaksi BBM non-subsidi jenis solar/biosolar periode 2018–2023, yang dianggap merugikan Pertamina dan diinterpretasikan sebagai kerugian negara.
Hendra menegaskan, pemerintah memang harus tegas memberantas korupsi di tubuh BUMN, termasuk Pertamina.
Tapi, penegakan hukum tetap harus dilakukan berdasarkan asas kehati-hatian dan proporsionalitas hukum.
"Upaya pemerintah memberantas korupsi tentu harus didukung. Tapi jangan sampai tindakan hukum menjadi serampangan dan mengkriminalisasi hubungan keperdataan antara pihak swasta dengan BUMN," ujar Hendra di Jakarta, Rabu, 22 Oktober 2025.
Hendra menilai, kontrak jual beli BBM non-subsidi yang dilakukan antara PT Pertamina Patra Niaga dan para konsumen industri, merupakan hubungan hukum perdata murni (pure business) yang sah berdasarkan Pasal 1320 dan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
"Kontrak kerja itu posisi hukumnya setara dengan undang-undang bagi para pihak. Jika kontrak dilaksanakan sesuai kesepakatan, maka tidak bisa serta-merta dijadikan dasar pidana korupsi," jelas dia.
Dalam kontrak tersebut, kata Hendra, PT Pertamina Patra Niaga sebagai perusahaan milik negara menetapkan harga dasar BBM non-subsidi yang disepakati bersama pihak swasta.
Para konsumen industri hanya menyetujui harga dan mekanisme pengiriman sebagaimana tertuang dalam contract of work.
"Pertamina yang menentukan harga dasar BBM non-subsidi. Kalau ada selisih harga atau salah perhitungan, itu tanggung jawab Pertamina sebagai pihak penentu harga, bukan kesalahan konsumen industri," papar dia.
Hendra juga menilai, jika terjadi mark up harga di tubuh Pertamina, hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menjerat pihak swasta.
"Kalau mark up itu terjadi di internal Pertamina, ya itu urusan internal mereka. Tidak bisa ditarik-tarik ke pihak swasta yang hanya menjalankan kontrak sesuai kesepakatan," tegasnya.
Hendra mengingatkan, penanganan hukum yang berlebihan justru dapat mengganggu iklim investasi di sektor energi dan pertambangan.
Banyak perusahaan swasta bisa kehilangan kepercayaan untuk berinvestasi jika kontrak bisnis dapat dengan mudah dikriminalisasi.
"Kalau setiap perjanjian bisnis dengan BUMN bisa dikriminalisasi, nanti perusahaan swasta akan lari ke luar negeri, ke Malaysia atau Singapura untuk beli BBM. Itu justru merugikan negara," papar dia.
Hendra menegaskan kembali bahwa, pemberantasan korupsi harus tetap berpijak pada prinsip hukum yang adil dan tidak mencampuradukkan ranah perdata dengan pidana.
"Kita semua sepakat korupsi harus diberantas, tapi jangan sampai upaya itu mencederai asas keadilan dan kepastian hukum. Karena kalau dunia usaha takut, yang rugi justru negara sendiri," tandasnya.