Mengenal Lebih Dalam Sanae Takaichi Perdana Menteri Perempuan Pertama Jepang

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 22 Okt 2025, 07:23
thumbnail-author
Deddy Setiawan
Penulis
thumbnail-author
Beno Junianto
Editor
Bagikan
Arsip foto - Sanae Takaichi saat menjadi Menteri Dalam Negeri Jepang, September 2019. Arsip foto - Sanae Takaichi saat menjadi Menteri Dalam Negeri Jepang, September 2019. (ANTARA)

Ntvnews.id, Tokyo - Politisi konservatif garis keras, Sanae Takaichi, 64 tahun, secara resmi ditetapkan sebagai perdana menteri perempuan pertama Jepang pada Selasa, 21 Oktober 2025. setelah menjalani pertemuan dengan Kaisar dan mendapat pengesahan dari majelis rendah parlemen.

Pemimpin Partai Demokrat Liberal (LDP) itu secara mengejutkan meraih dukungan mayoritas dalam putaran pertama pemungutan suara, meniru idolanya, mendiang pemimpin Inggris Margaret Thatcher.

Dalam dunia politik Jepang yang dikenal kaku dan patriarkal, perjalanan Takaichi menuju kursi tertinggi pemerintahan berlangsung melalui pekan-pekan penuh gejolak. Ia harus menghadapi berbagai manuver politik di parlemen dan dalam koalisi pemerintahan. Setelah memenangkan pemilihan internal LDP pada 5 Oktober yang seluruh pesertanya laki-laki Takaichi terpaksa mencari dukungan baru setelah Partai Komeito, mitra koalisi yang lebih moderat, menarik diri dari aliansi yang telah bertahan 26 tahun.

Langkah itu mendorong Takaichi menjalin kerja sama dengan Partai Inovasi Jepang (JIP) yang berhaluan kanan. Kesepakatan tersebut ditandatangani pada Senin, 20 Oktober 2025, dengan poin-poin utama mencakup penurunan pajak konsumsi untuk makanan menjadi nol persen, pelarangan sumbangan dari korporasi dan organisasi kepada partai politik, serta pengurangan jumlah anggota parlemen.

Baca Juga: Coach Justin: Pelatih dari Jepang Cocok untuk Timnas Indonesia

Kini, fokus publik beralih ke rencana belanja besar-besaran yang diusulkan oleh Takaichi. Para analis memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat mengguncang kepercayaan investor terhadap ekonomi Jepang yang memiliki salah satu tingkat utang tertinggi di dunia. Selain itu, pandangan nasionalistik Takaichi dinilai berpotensi menimbulkan gesekan diplomatik dengan Cina.

Ia dijadwalkan menjamu Presiden AS Donald Trump pada 27 Oktober, yang akan menjadi ujian besar pertamanya sebagai pemimpin pemerintahan.

"Iron Lady" dari Negeri Matahari Terbit

Mantan menteri keamanan ekonomi dan dalam negeri itu kerap menyebut Thatcher sebagai panutannya. Ia mengagumi kekuatan karakter dan keyakinan sang “Iron Lady”, yang menurutnya tetap berpadu dengan “kehangatan keibuan”. Takaichi bahkan pernah bertemu langsung dengan Thatcher dalam sebuah simposium beberapa bulan sebelum kematian mantan PM Inggris itu pada 2013.

Sama seperti idolanya, Takaichi berasal dari latar belakang sederhana — putri seorang polisi dan buruh bengkel — sebelum berhasil menembus lingkaran elit kekuasaan yang biasanya diwariskan. Namun, berbeda dengan Thatcher yang dikenal disiplin dalam hal fiskal, Takaichi justru mendorong kebijakan fiskal longgar dan moneter ekspansif, yang sempat mengguncang kepercayaan pasar.

Sebagai pendukung setia doktrin “Abenomics” warisan mendiang Shinzo Abe, ia menekankan pentingnya peningkatan belanja pemerintah dan pemotongan pajak, serta bertekad memperkuat kendali eksekutif atas bank sentral Jepang.

Komitmen bagi Perempuan dan Generasi Muda

Takaichi berjanji membentuk kabinet dengan proporsi perempuan setara negara-negara Nordik, sembari menegaskan komitmennya untuk “memperkuat ekonomi Jepang, dan membentuk kembali Jepang sebagai negara yang bertanggung jawab bagi generasi mendatang.”

Ia juga dikenal terbuka membicarakan pengalaman pribadinya menghadapi menopause dan berkomitmen meningkatkan kesadaran publik terhadap isu kesehatan perempuan. Jepang sendiri masih bergulat dengan ketimpangan gender; negara itu menempati posisi ke-118 dari 148 dalam Laporan Kesenjangan Gender Global 2025 versi World Economic Forum, dengan hanya sekitar 15 persen anggota majelis rendah yang berjenis kelamin perempuan.

Namun, Takaichi menentang revisi undang-undang abad ke-19 yang mengharuskan pasangan menikah menggunakan nama keluarga yang sama, dan tetap mendukung agar garis suksesi keluarga kekaisaran tetap dari laki-laki.

Konservatif yang Tegas, tapi Manusiawi

Dalam kampanye politiknya, Takaichi menonjol dengan sikap keras terhadap warga asing yang melanggar hukum, isu yang sensitif di tengah meningkatnya jumlah migran dan wisatawan. Ia sempat memulai pidatonya dengan kisah tentang turis yang menendang rusa di kampung halamannya, Nara, untuk menyoroti pentingnya aturan dan etika publik.

Takaichi juga kerap membuat kontroversi dengan kunjungannya ke Kuil Yasukuni, tempat yang memuliakan para korban perang termasuk penjahat perang Jepang. Aksi itu dianggap sebagian negara Asia sebagai simbol kebangkitan militerisme Jepang. Ia juga mendukung amandemen konstitusi pascaperang agar Jepang memiliki peran militer lebih aktif, bahkan pernah menyarankan pembentukan “aliansi keamanan semu” dengan Taiwan.

Baca Juga: Eks Mendagri Jepang Sanae Takaichi Maju Pencalonan Ketua Partai Demokrat Liberal, Bidik Kursi PM

Namun, mereka yang mengenalnya dari dekat menegaskan bahwa di balik ketegasannya, Takaichi memiliki sisi lembut. Yukitoshi Arai, mantan penata rambutnya, menyebut gaya rambut khas “Potongan Sanae” dirancang untuk mencerminkan kepribadiannya yang peduli dan terbuka.

"Modelnya ramping, tajam, dan bergaya. Sisi rambutnya panjang, tapi ia sengaja menyelipkannya di balik telinga untuk menunjukkan bahwa ia mendengarkan orang lain dengan saksama," katanya.

Takaichi menamatkan pendidikan di Universitas Kobe dengan gelar manajemen bisnis, kemudian bekerja sebagai fellow di Kongres AS. Ia memulai karier politiknya pada 1993 dengan memenangkan kursi majelis rendah sebagai calon independen, sebelum akhirnya bergabung dengan LDP pada 1996.

Dengan latar belakangnya yang kuat, pandangan politik konservatif, serta tekad memperjuangkan peran perempuan di pemerintahan, Sanae Takaichi kini mencatat sejarah sebagai perdana menteri perempuan pertama Jepang dan mungkin “Iron Lady” baru Asia Timur.

x|close