Ntvnews.id, Tel Aviv - Sejumlah negara Arab tengah menimbang kembali proposal Mesir untuk membentuk aliansi militer yang menyerupai NATO. Gagasan lama dari Kairo ini kembali mencuat setelah serangan Israel di Qatar yang disebut menargetkan pemimpin senior Hamas.
Usulan tersebut pertama kali diajukan Mesir dalam KTT Arab pada 2015, dan sempat disetujui secara prinsip di tengah perang sipil Yaman serta jatuhnya Sanaa ke tangan Houthi. Namun, perkembangan lebih lanjut terhambat karena perbedaan pandangan terkait struktur komando dan lokasi markas besar pasukan gabungan itu.
Dilansir dari New Arab, Rabu, 17 September 2025, Pasca serangan Israel pekan lalu, Mesir kembali mendorong ide pembentukan pasukan gabungan ini, dan diskusinya semakin menguat.
Rencana tersebut diperkirakan akan dibahas dalam KTT darurat yang diselenggarakan Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Doha selama dua hari pekan ini. Pertemuan itu digelar sebagai respons atas serangan mematikan Israel di Qatar.
Baca Juga: Negara Arab-Islam Kecam Serangan Israel ke Doha, Sebut Pengecut, Berkhianat, dan Kriminal
Menurut The National, sejumlah negara Arab kini mempertimbangkan pembentukan kekuatan militer gabungan yang terdiri dari tentara serta persenjataan dengan kontribusi dari tiap anggota Liga Arab. Proposal Mesir menyebut posisi komandan akan dirotasi di antara 22 negara anggota, dengan Mesir ditunjuk untuk masa jabatan pertama.
Selain itu, seorang pejabat sipil akan menjabat sebagai Sekretaris Jenderal, dan Mesir diyakini tengah mendorong Kairo menjadi markas besar aliansi tersebut.
Mengadopsi pola NATO, usulan itu mencakup gabungan angkatan darat, laut, dan udara, ditambah pasukan elite khusus yang dilatih untuk operasi komando dan taktik kontra-terorisme.
Baca Juga: Negara Arab-Islam Kecam Serangan Israel ke Doha, Sebut Pengecut, Berkhianat, dan Kriminal
Dalam rancangan proposal, pelatihan, logistik, serta sistem militer akan diintegrasikan. Penggunaan pasukan gabungan baik untuk misi tempur maupun penjaga perdamaian akan mensyaratkan permintaan resmi dari negara terkait, konsultasi dengan seluruh anggota, serta persetujuan pimpinan militer.
Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi disebut telah menjalin komunikasi dengan sejumlah pemimpin kawasan mengenai inisiatif ini.
Seorang sumber yang dikutip The National menyatakan bahwa pasukan gabungan tersebut akan "menangani ancaman keamanan dan terorisme, atau siapa pun yang mengancam keselamatan dan stabilitas dunia Arab".