Ntvnews.id, Jakarta - Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) diminta berani bersikap dalam dugaan kriminalisasi dari klien pengacara senior Otto Cornelis (OC) Kaligis. Hakim diminta membebaskan dua klien Kaligis, yakni Awwab Hafidz dan Marsel Bialembang (pegawai PT Wana Kencana Mineral/PT WKM).
Keduanya, sebelumnya diproses hukum gara-gara memasang patok di area tambang yang justru di lokasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT WKM.
Hakim diminta membebaskan kedua orang tersebut, pada sidang perdana yang akan digelar esok, Rabu, 13 Agustus 2025.
Majelis hakim menurutnya harus berani membebaskan kedua kliennya, karena perkara ini, sarat dengan kejanggalan dan manipulasi serta mengarah pada tindakan kriminalisasi terhadap kedua kliennya.
Menurut Kaligis, aroma kriminalisasi mulai tercium sejak kedua kliennya itu diperiksa penyidik Bareskrim Polri.
“Dituduh telah memasang patok di area IUP milik PT Wana Kencana Mineral sendiri, padahal pemasangan patok dilakukan, karena mereka hendak melakukan pengamanan di lokasi IUP PT Wana Kencana Mineral sendiri. Tujuan pemasangan patok untuk mengamankan lokasinya, dari penyerobotan lahan oleh PT P, yang melakukan penambangan liar nikel. Jadi yang seharusnya dipidanakan dan dijadikan tersangka itu PT P karena melakukan penambangan liar nikel, dan bukan klien kami,” ujar Kaligis, Selasa, 12 Agustus 2025.
Seperti diketahui, PT WKM adalah pemilik IUP nikel di Desa Ekor dan Sagea, Kecamatan Wasilo Selatan, dan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Utara. Dijelaskannya, kedua kliennya, dijadikan tersangka berdasarkan laporan dari Hari Aryanto Dharma Putra, selaku Direktur PT P, ke Bareskrim Polri. Keduanya dijerat dengan Pasal 162 Jo Pasal 70, Jo Pasal 86F huruf b, Jo Pasal 136 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan/atau tindak pidana kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (3) Jo Pasal 50 ayat (2) Huruf a Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang penetapan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Kaligis menilai, ada banyak ketidakadilan yang diterima kliennya, dalam menjalani pemeriksaan dan penyidikan oleh penyidik Bareskrim Polri. Setelah dipelajari kasusnya, banyak kejanggalan dan pelanggaran dalam perkara kedua kliennya itu. Di antaranya, perbedaan pasal dalam proses penyelidikan dan penyidikan yang dijalani kedua kliennya di kepolisian.
“Pada proses penyelidikan, kedua klien kami dituduh melanggar Pasal 162 UU Pertambangan Mineral dan Batubara jo Pasal 50 ayat 3 huruf a dan huruf k UU Kehutanan, sedangkan di proses penyidikan, berubah pasalnya, dan dituduh melanggar Pasal 162 UU Pertambangan Mineral dan Batubara jo Pasal 50 ayat 2 huruf a UU Kehutanan,” jelas Kaligis.
Kejanggalan kedua, kata Kaligis, pasal yang disangkakan adalah pelanggaran Pasal 162 UU Pertambangan Mineral dan Batubara jo Pasal 50 ayat 2 huruf a UU Kehutanan, akan tetapi pertanyaan yang diajukan kepada tersangka dan saksi, bukan pertanyaan seputar pelanggaran atas ketentuan tersebut.
“Melainkan pertanyaan seputar patok/pagar pembatas yang dilakukan oleh kedua klien kami di wilayah IUP milik klien kami sendiri, yang menurut penyidik, pemasangan patok tersebut, di jalan angkutan (logging) yang sedang dikerjakan PT P,” jelas Kaligis.
Ditambahkannya, tidak ada tindakan perusakan hutan yang dilakukan kedua kliennya, sebagaimana disangkakan oleh penyidik.
“Klien kami melakukan pemasangan patok/pagar pembatas di IUP sendiri dalam rangka menjaga lahan IUP nya sendiri sebagaimana diwajibkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Jika memang benar ada perusakan hutan, maka perusakan hutan justru dilakukan oleh PT P karena pengerjaan yang dilakukan PT P, bukan membuka jalan angkutan (logging) melainkan pengerukan,” tegas Kaligis.
Diungkapkannya, tindakan pengerukan yang dilakukan oleh PT P di daerah wilayah IUP kliennya, diduga telah mengakibatkan pencemaran lingkungan. Tindakan ini yang kemudian yang menjadi dasar bagi klien kami untuk membuat laporan polisi, atas dugaan tindak pidana di bidang pertambangan mineral dan batubara, yaitu melakukan kegiatan pertambangan di luar wilayah Izin Usaha Produksi yang diduga dilakukan oleh PT P, di Desa Loleba, Kec. Wasile Selatan, Kab. Halmahera Timur yang terjadi pada tahun 2025.
OC Kaligis di lokasi tambang di Halmahera Utara, Maluku Utara.
“Laporan polisi tersebut kemudian dihentikan penyelidikannya dengan alasan harus diselesaikan terlebih dahulu secara keperdataan. Bukannya mendapat perlindungan hukum atas upayanya mencegah perusakan hutan dan pencemaran lingkungan, serta mencegah kerugian negara, yang diduga dilakukan oleh PT P kedua klien kami justru dilaporkan balik ke Mabes Polri, bahkan ditersangkakan. Jika laporan polisi klien kami, di Polda Maluku Utara, dihentikan dengan alasan harus diselesaikan terlebih dahulu secara keperdataan, maka LP di Mabes Polri, juga seharusnya terlebih dahulu diselesaikan dalam ranah keperdataan,” tegas Kaligis.
Yang terutama di kasus ini, kata Kaligis, kliennya selaku pemegang IUP, dengan luas areal 24,700 Ha, dijamin dan dilindungi haknya, untuk melakukan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (Pasal 94 UU tentang Minerba).
“Dalam hal ini tindakan mematok lahan IUP, yang dilakukan oleh klien kami merupakan hak klien kami yang dijamin oleh UU dan merupakan kewajiban klien kami dalam rangka pelaksanaan usahanya. Pemegang IUP wajib melaksanakan keselamatan operasi pertambangan, pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan (Pasal 96 UU tentang Minerba),” tegas Kaligis.
Ditambahkannya, klien kami telah melakukan pengaduan kepada Kementerian Kehutanan, atas pembukaan lahan dan pembukaan material di Kawasan IUP klien kami oleh IUP PT P dan Gakkum Wilayah Maluku dan Papua, telah mengeluarkan surat tugas untuk melakukan pengumpulan data dan informasi atas dugaan bukaan lahan dan penggalian material tersebut.
“Atas laporan tersebut telah terdapat Laporan Hasil Pengaduan Dugaan Bukaan Lahan dan Pengambilan Material di Kawasan Hutan oleh IUP PT P di Kabupaten Halmahera Timur Provinsi Maluku Timur yang dibuat oleh Gakkum Kementrian Kehutanan," kata dia.
"Yang pada intinya, 'Kesimpulan: Berdasarkan hasil kegiatan Pengumpulan Data dan Informasi oleh Gakkum saksi II Ambon dapat disimpulkan bahwa IUP PT P telah melakukan pembukaan lahan jalan angkutan dan pengambilan material mineral nikel didalam Kawasan hutan Produksi tanpa melalui Proses PPKH sehingga patut diduga telah terjadi tindak pidana di bidang kehutanan'," jelasnya.
"Dan 'Saran: Atas dugaan telah terjadi tindak pidana dibidang kehutanan, maka perlu ditindak lanjuti dengan kegiatan operasi penegakan hukum untuk dapat mengamankan barang bukti serta membuat Laporan Kejadian sebagai Langkah proses hukum',” tukas Kaligis.
Yang ironisnya, ujar Kaligis, PT P sampai sekarang masih saja melakukan usaha di lahan milik kliennya.
“Mereka melakukan pembukaan lahan dan penggalian material di dalam kawasan hutan yang terletak di dalam wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik klien kami, yang merupakan kawasan hutan lindung dan belum diberikan persetujuan dalam bentuk IPPKH kepada PT P. Melakukan pengambilan dan/atau pemindahan material tambang dari lahan yang berada dalam penguasaan hukum klien kami tanpa dasar hukum yang sah. Dan, melakukan kegiatan pengeboran di dalam wilayah IUP klien kami guna mengambil sampel untuk mengetahui kadar nikel, yang dilakukan tanpa seizin klien kami selaku pemegang IUP atas wilayah tersebut,” jelas Kaligis.
Mengacu pada fakta-fakta hukum di atas, kata Kaligis, yang menjadi janggal adalah, kliennya yang telah memiliki izin, melakukan kegiatan pertambangan, dan kemudian, terdapat orang asing melakukan penambangan di wilayah IUP klien kami secara tanpa izin, akan tetapi malah kliennya yang ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan Tindak Pidana Pertambangan dan/atau Pertambangan.
Kaligis mendapatkan fakta bahwa dari penelusuran Gakkum di lapangan, didapat data bahwa PT P telah melakukan bukaan lahan sebagai berikut: di dalam kawasan hutan IUP PT Wana Kencana Mineral sepanjang 1,2 KM, di dalam kawasan hutan IUP PT Weda Bay Nikel, sepanjang 6,5 KM, di dalam kawasan hutan PT Pahala Milik Abadi, sepanjang 2,7 KM, jalan koridor sepanjang 409 M, luas bukaan di areal PT. Wana Kencana Mineral, kurang lebih 30-50 M, dengan kedalaman kurang lebih 10-15 M.
“Sekarang pertanyaannya, apa mungkin membuat jalan dengan kedalaman 15 M ? Itu bukti telah dilakukan penambangan liar oleh PT P. Jadi seharusnya yang dipidanakan dan dijadikan tersangka, oleh Bareskrim Polri itu, adalah PT P, karena berdasarkan kesimpulan hasil pemeriksaan lapangan Gakkum, diperoleh fakta bahwa PT P telah melakukan tindak pidana di bidang kehutanan. Dari kesimpulan Gakkum, Gakkum menetapkan bahwa PT P yang seharusnya dijadikan tersangka,” ujar Kaligis.
Walaupun ini menjadi tugas penyidik Gakkum, Mabes Polri melalui Bareskrim Polri, kata dia, tanpa koordinasi dengan Gakkum Kehutanan, langsung menyidik pemasangan patok oleh PT Wana Kencana Mineral, di daerah IUP sendiri, dengan hasil, menjadikan Awwab dan Marsel sebagai tersangka tindak pidana Pertambangan dan dituduh melanggar Pasal 162 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2020, telah mengenyampingkan peranan PT. Position, selaku pelaku penambang liar nikel.
“Penyelidikan polisi terhadap PT Wana Kencana Mineral, tanpa memeriksa langsung di lapangan, mengenai pemasangan patok, yang dilakukan di wilayah IUP PT Wana sendiri, tanpa menyita patok sebagai barang bukti, adalah bukti kriminalisasi,” tegas Kaligis.
Penyelidikan polisi di Bareskrim Polri sendiri, berlangsung kilat. Laporan polisi (LP) dibuat pada April 2025, langsung dilanjutkan dengan berkas P21 (lengkap), pada tangga1 14 Juli 2025. “Walaupun sudah P. 21, penyidik masih memanggil saksi Iainnya, terbukti tidak terdapat koordinasi, antara Kejaksaan dan Penyidik Kepolisian. Di saat saksi dipanggil tanggal 17 Juli 2025, baru di saat itu penyidik sadar bahwa kasus ini telah dinyatakan lengkap, sehingga pemeriksaan Ianjutan, dibatalkan. Bukti penyidikan kilat penyidik polisi, beda dengan jalannya kasus penyidikan Roy Suryo,” ungkap Kaligis.
Kaligis menemukan banyak kejanggalan dan ketidakadilan yang dialami kedua kliennya dalam perkara ini. Salah satunya adalah, kliennya dijadikan tersangka, untuk tindak pidana yang tidak pernah dilakukannya.
“Tidak ada tindakan perusakan hutan yang dilakukan oleh klien kami, sebagaimana disangkakan oleh penyidik, klien kami melakukan pemasangan patok/pagar pembatas didaerah IUP sendiri dalam rangka menjaga lahan IUP-nya sendiri sebagaimana diwajibkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan,” tukas Kaligis.
Jika memang benar ada perusakan hutan, kata dia maka perusakan hutan justru dilakukan oleh PT P karena pengerjaan yang dilakukan oleh PT P, bukan membuka jalan angkutan (logging), melainkan pengerukan, dan itu bukan dilakukan klien kami. Kliennya selaku pemegang IUP telah melakukan upaya hukum dengan membuat laporan polisi atas dugaan Tindak Pidana di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara, yaitu melakukan kegiatan pertambangan diluar wilayah Izin Usaha Produksi, yang diduga dilakukan oleh PT P, di Desa Loleba Kec. Wasile Selatan, Kab. Halmahera Timur yang terjadi pada tahun 2025. Tetapi Laporan polisi itu dihentikan dan pada intinya menyatakan bahwa, perkara tersebut diselesaikan secara keperdataan.
“Jika laporan polisi yang dibuat oleh klien kami dihentikan dengan alasan harus diselesaikan terlebih dahulu secara keperdataan, maka seharusnya laporan polisi yang menjadi dasar klien kami ditetapkan sebagai tersangka juga seharusnya terlebih dahulu diselesaikan dalam ranah keperdataan, mengingat objek kedua laporan polisi tersebut adalah sama,” tegas Kaligis.
Kaligis pun telah kembali bersurat ke Gakkum Kehutanan, untuk mempertanyakan kelanjutan kedudukan PT P sebagai tersangka tindak pidana di bidang kehutanan.
“(Mempertanyakan) kedudukan tersangka dari PT P, (kenapa) tidak dilanjutkan oleh penegakhukum kehutanan?,” tukas Kaligis. Yang jelas, pihaknya akan berjuang keras untuk membuktikan bahwa kedua kliennya itu tidak bersalah.
“Kita akan berjuang, kita akan lihat nanti, di sidang, apakah temuan dari penyidik kehutanan dipakai atau dikesampingkan. Karena dia (Gakkum Kehutanan) juga (diatur dalam) undang-undang. Kenapa (kasus) ini justru pindah ke Bareskrim, itu yang jadi pertanyaan. Kita mencari keadilan, kalau keadilan (ditegakkan), pasti dalam hal ini, klien saya mesti bebas. Jangan sampai terjadi, seperti kasusnya Tom Lembong,” kata Kaligis.
Yang pasti, lanjut Kaligis, pihaknya berharap mendapatkan keadilan dalam kasus ini. “Ya keadilan dong, kebenaran saja (yang kita harapkan). Yang kita kasihkan (ke hakim) adalah pernyataan dari Gakkum Kehutanan, bahwa yang melakukan illegal mining di tempat kita, adalah PT P, yang melaporkan kita sekarang,” pungkas Kaligis.