Ntvnews.id, Jakarta - Isu mengenai pemutaran suara alam, khususnya kicauan burung di kafe dan restoran, yang disebut-sebut bisa dikenai royalti, belakangan ramai diperbincangkan publik. Banyak pemilik usaha kuliner merasa bingung, benarkah suara burung bisa kena royalti?
Menjawab keresahan tersebut, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) angkat bicara, disampaikan Dedy Kurniadi, anggota baru Komisioner LMKN kelompok pencipta periode 2025–2028.
Dalam penjelasannya, Dedy menegaskan bahwa rekaman suara burung yang diproduksi secara khusus dan dikomersialkan masuk dalam kategori karya fonogram. Karya seperti ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta, sama halnya dengan lagu.
Jadi, jika sebuah kafe memutar rekaman suara burung dari produser resmi, maka pemutaran tersebut bisa dikenai kewajiban membayar royalti. Ini karena karya tersebut merupakan produk industri kreatif yang melibatkan hak eksklusif si pembuat atau produser.
"Saya kira sepanjang suara burung itu juga ada produsernya, maka rekaman suara burung juga akan ada kena royalty," katanya di kantor Kemenkum Jakarta, Jumat, 8 Agustus 2025.
Namun, Dedy juga mengimbau agar publik tidak langsung bereaksi secara berlebihan. Menurutnya, isu ini perlu diluruskan agar tidak memunculkan kesalahpahaman di masyarakat.
"Karena ada pemegangan terkait karya rekaman suara. Tapi saya kira ini reaksi yang agak berlebihan dan mungkin akan bisa kita lemah luruskan lagi karena siapa masyarakat Indonesia yang tidak suka penciptanya juga sejahtera. Itu yang jadi kunci," pungkas dia.