Ntvnews.id, Jakarta - Menjelang penetapan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang baru, keresahan di kalangan pekerja industri hasil tembakau (IHT) kembali mencuat. Potensi kenaikan tarif cukai dianggap bisa memperburuk kondisi industri yang sudah tertekan, mengancam lapangan kerja, dan mendorong semakin maraknya rokok ilegal.
Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI), Andreas Hua, menuturkan bahwa tekanan regulasi selama lebih dari satu dekade telah berdampak besar terhadap pekerja.
“Paling vital kami mengalami penurunan pekerja sejak 2012 dan dalam lima tahun produksi turun terus tapi cukai naik terus. Karena kenaikan cukai, jumlah produksi rokok menurun tajam, tapi cukainya dinaikkan terus karena target penerimaan cukai juga naik,” kata Andreas dalam keterangannya, Rabu, 24 September 2025.
Ia mengungkapkan bahwa kegelisahan buruh selalu memuncak pada penghujung tahun, saat aturan tarif cukai baru akan diumumkan
Baca Juga: Menkeu Purbaya Bakal Temui Asosiasi Rokok Bahas Kebijakan Cukai
“Setiap kenaikan cukai, kita sebagai pekerja, setiap tahun kita was-was,” kata Andreas.
Menurutnya, beban industri akibat kenaikan tarif yang berlebihan tidak hanya menekan pekerja, tetapi juga membuat konsumen beralih ke produk murah, termasuk rokok ilegal yang sama sekali tidak memberikan kontribusi pada kas negara.
Dari sisi pelaku usaha, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, Adik Dwi Putranto, menyebut bahwa moratorium kenaikan tarif CHT selama tiga tahun ke depan dapat menjadi jawaban atas keresahan tersebut.
“Bagi masyarakat, moratorium kenaikan cukai (rokok) akan melindungi tenaga kerja dari ancaman PHK massal akibat penurunan produksi,” ujarnya.
Baca Juga: Purbaya Tegaskan Pemberantasan Rokok Ilegal di E-Commerce hingga Warung Kelontong
Adik menegaskan, kebijakan ini tidak hanya menyangkut perlindungan tenaga kerja, tetapi juga penting untuk menjaga stabilitas penerimaan negara. Ia mengingatkan bahwa lonjakan tarif yang terlalu tinggi justru membuat pasar rokok ilegal semakin berkembang, merugikan industri legal sekaligus mengurangi penerimaan cukai.
Kadin mencatat, realisasi penerimaan cukai pada 2024 hanya mampu mencapai 95,4 persen dari target. Salah satu penyebab utama adalah penurunan produksi rokok yang terus berlanjut beberapa tahun terakhir.
Trennya pun terlihat jelas. Pada 2022, produksi nasional tercatat 323,9 miliar batang, turun menjadi 318,1 miliar batang di 2023, lalu kembali turun menjadi 317,4 miliar batang pada 2024. Penurunan itu berlanjut hingga semester pertama 2025, dengan capaian hanya 142,6 miliar batang, lebih rendah dari 146,18 miliar batang pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kenaikan tarif yang terlalu agresif tidak hanya menekan industri, tetapi juga berimbas pada penerimaan negara. Turunnya produksi dan meningkatnya konsumsi rokok ilegal berimplikasi langsung pada berkurangnya pendapatan negara dari cukai.
“Bagi industri, moratorium kenaikan cukai akan memberikan ruang pemulihan dan transformasi, karena jeda tiga tahun memungkinkan efisiensi rantai pasok, penataan ulang portofolio, dan peningkatan standarisasi kepatuhan,” tutup Adik.