Ntvnews.id, Amerika Serikat - Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) menjatuhkan larangan masuk terhadap lima warga Eropa dengan tuduhan memimpin upaya menekan perusahaan teknologi agar melakukan sensor atau pembatasan terhadap pandangan warga Amerika secara daring.
Harian The Guardian, Rabu 24 Desember 2025 waktu setempat, melaporkan bahwa kebijakan tersebut menjadi langkah terbaru Washington dalam menentang regulasi Eropa yang menargetkan ujaran kebencian serta penyebaran disinformasi.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menyatakan bahwa lima individu yang dikenai larangan visa, termasuk mantan Komisaris Eropa Thierry Breton, diduga memimpin gerakan terkoordinasi untuk memaksa platform asal Amerika melakukan sensor, demonteisasi, dan pembungkaman terhadap pandangan Amerika yang tidak sejalan dengan mereka.
“Para aktivis radikal ini dan LSM yang dimanfaatkan sebagai alat politik telah mendorong tindakan sensor oleh negara asing, dalam setiap kasus menargetkan pembicara dan perusahaan Amerika,” kata Rubio dalam pengumuman resminya.
Baca Juga: Amerika Serikat Larang Penjualan Drone Buatan Luar Negeri
Dalam beberapa bulan terakhir, pejabat pemerintahan Presiden Donald Trump juga telah menginstruksikan para diplomat AS untuk membangun penentangan terhadap Digital Services Act (DSA) Uni Eropa, sebuah regulasi yang bertujuan menanggulangi ujaran kebencian, informasi keliru, dan disinformasi.
Namun, Washington menilai kebijakan tersebut berpotensi membatasi kebebasan berbicara serta membebani perusahaan teknologi asal Amerika Serikat.
Langkah larangan visa ini disebut sebagai bagian dari kampanye pemerintahan Trump untuk melawan pengaruh asing terhadap ujaran online, dengan memanfaatkan hukum imigrasi alih-alih regulasi platform digital atau penerapan sanksi.
Berdasarkan Immigration and Nationality Act, individu yang menjadi sasaran kebijakan tersebut umumnya akan dilarang masuk ke AS, dan sebagian di antaranya bahkan dapat menghadapi proses deportasi jika telah berada di wilayah negara itu.
Rubio tidak mengungkapkan identitas para individu yang dikenai sanksi. Namun, Under Secretary for Public Diplomacy Sarah Rogers kemudian menyebutkan nama-nama mereka melalui akun X, dengan menuduh bahwa individu-individu tersebut telah “memicu sensor terhadap ujaran warga Amerika.”
Lima tokoh yang disebutkan adalah Imran Ahmed, CEO Centre for Countering Digital Hate; Josephine Ballon dan Anna-Lena von Hodenberg yang memimpin HateAid, organisasi berbasis di Jerman; Clare Melford yang mengelola Global Disinformation Index; serta Thierry Breton, mantan Komisaris Uni Eropa.
Penerapan larangan visa ini muncul setelah Strategi Keamanan Nasional pemerintahan AS yang dirilis bulan ini menuduh para pemimpin Eropa melakukan penyensoran kebebasan berbicara dan menekan oposisi terhadap kebijakan imigrasi, yang dinilai berisiko memicu “penghapusan peradaban” di kawasan tersebut.
Baca Juga: TikTok Sepakat Melepas Sebagian Operasi Bisnis di Amerika Serikat
Rogers menyebut Breton, yang menjabat sebagai Komisaris Eropa untuk pasar internal pada periode 2019–2024, sebagai aktor utama di balik penerapan DSA.
Sementara itu, Clare Melford, salah satu pendiri Global Disinformation Index (GDI), dalam sebuah video yang diunggah secara daring pada 2024, menyatakan bahwa pendirian organisasi tersebut bertujuan mematahkan model bisnis konten online berbahaya. Upaya itu dilakukan dengan meninjau situs berita daring agar pengiklan dapat menentukan apakah mereka ingin mendanai konten yang dinilai memecah belah dan berbahaya, atau mengalihkan iklan ke jurnalisme berkualitas.
Menanggapi langkah Washington, juru bicara GDI menyebut kebijakan AS tersebut tidak bermoral, melanggar hukum, serta bertentangan dengan nilai-nilai Amerika. Ia juga menilai tindakan itu sebagai serangan otoriter terhadap kebebasan berbicara dan bentuk penyensoran pemerintah yang berlebihan.
Sebagian besar warga Eropa sebenarnya termasuk dalam program Visa Waiver, yang memungkinkan mereka masuk ke AS tanpa visa. Namun demikian, mereka tetap diwajibkan mengisi aplikasi daring sebelum kedatangan melalui sistem yang dikelola Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS).
Seorang pejabat AS yang berbicara dengan syarat anonim mengatakan bahwa kemungkinan setidaknya beberapa dari lima individu tersebut telah terdeteksi dalam sistem DHS.
(Sumber : Antara)
Arsip - Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio. ANTARA/HO-Anadolu/py (Antara)