Ntvnews.id, Jakarta - Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November lalu meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat.
Cuaca ekstrem dengan curah hujan yang terus mengguyur menyebabkan ratusan korban jiwa berjatuhan, bangunan runtuh, fasilitas publik rusak, serta ribuan rumah penduduk terendam air. Besarnya kerusakan memperlihatkan betapa dahsyatnya dampak bencana alam tersebut.
Pakar Hidrologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr.-Ing. Ir. Agus Maryono, menegaskan bahwa penyebab banjir bandang dan tanah longsor di sejumlah wilayah di Sumatera tidak semata-mata bersumber dari fenomena cuaca ekstrem.
Ia menjelaskan bahwa terdapat rangkaian faktor penyebab lain yang berkaitan erat dengan kondisi meteorologi, geografi, geologi, hingga hidrolik. Dalam keterangannya, Agus menyampaikan bahwa fenomena ini tidak akan menimbulkan dampak sedemikian besar apabila hanya disebabkan oleh tingginya curah hujan.
Baca Juga: Ketua PBNU Gus Ulil Tolak Wacana Zero Mining, Bencana Sumatra Bukan Gegara Tambang
“Jika hanya karena faktor cuaca ekstrem, (dampak) banjirnya tidak sejauh itu ya, tapi ini banjirnya kan sangat luar biasa,” katanya, dikutip dari laman resmi UGM pada Kamis, 4 Desember 2025.
Ia menguraikan bahwa selain wilayah yang rentan, kondisi saluran hidrolik di sejumlah titik mengalami penyumbatan, diperburuk oleh faktor meteorologi ekstrem serta efek pembalakan hutan yang meningkatkan kapasitas run off atau limpasan air hujan di permukaan tanah. Menurutnya, kombinasi tersebut memperberat skala bencana.
Agus kemudian menjelaskan bahwa banjir bandang umumnya terjadi akibat hujan sangat lebat yang disertai longsoran tebing di sepanjang aliran sungai berukuran kecil atau menengah. Akan tetapi, dalam peristiwa kali ini, kondisi hutan yang gundul di beberapa wilayah diyakini turut memicu peningkatan run off dan memperbesar skala arus banjir.
“Dipicu dengan adanya hutan yang kita lihat sudah gundul di situ, menyebabkan kenaikan run off. Selain itu dipicu juga dengan adanya longsoran atau penyumbatan-penyumbatan alamnya yang ada di situ. Sehingga itu terjadilah banjir yang besar,” terangnya.
Baca Juga: Hasil Tes DNA Keluar, Mendiang Alvaro Dimakamkan Kamis Siang Ini
Terkait penanganan bencana, Agus menekankan bahwa langkah pertama yang harus menjadi prioritas pemerintah adalah memastikan upaya evakuasi korban dilakukan maksimal.
“Jadi tenaganya full untuk korban. Korban yang masih hidup, yang hilang itu harus segera temukan kembali,” jelasnya.
Setelah tahap darurat tersebut, barulah pemerintah dapat melanjutkan proses pemulihan, termasuk membangun kembali fasilitas publik, jembatan, serta perumahan warga dengan memperhatikan faktor risiko bencana.
Agus juga menyoroti pentingnya upaya pencegahan jangka panjang melalui pembangunan yang berorientasi pada kelestarian lingkungan. Menurutnya, penerapan pendekatan ekohidrolik menjadi langkah strategis untuk mengurangi risiko bencana serupa di masa mendatang.
“Cara-cara ekohidrolik gitu. Misalnya sungai-sungai yang melebar itu ya harus ditanami dengan tanaman-tanaman yang cepat tumbuh sehingga sedimennya bisa dihentikan. Fungsinya untuk menstabilkan lereng-lereng sungai,” jelasnya.
Foto udara situasi terkini bencana banjir di Kabupaten Aceh Tamiang, Rabu 3 Desember 2025. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas (Antara)