Ntvnews.id, Jakarta — Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri menegaskan bahwa bentuk penjajahan modern kini tidak lagi menggunakan senjata, melainkan hadir melalui algoritma dan data. Menurutnya, kolonialisme belum berakhir, hanya berganti rupa.
“Jika dulu penjajahan hadir dengan meriam dan kapal perang, maka kini ia datang melalui algoritma dan data,” ujar Megawati dalam seminar internasional memperingati 70 Tahun Konferensi Asia–Afrika (KAA) di Blitar, Jawa Timur, Sabtu, 1 November 2025, sebagaimana disampaikan dalam keterangan resmi di Jakarta.
Ia menjelaskan, kemunculan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), big data, serta sistem keuangan digital lintas batas telah melahirkan bentuk baru dari imperialisme global. Negara-negara maju, kata Megawati, kini menjadi pengendali utama data dunia, sementara negara berkembang hanya berperan sebagai pengguna algoritma yang tidak mereka miliki.
“Manusia direduksi menjadi angka, data menjadi komoditas,” ucapnya.
Pandangan tersebut diperkuat sejumlah penelitian internasional, termasuk UNCTAD Digital Economy Report 2024, yang mengungkap bahwa sekitar 70 persen data dunia dikuasai oleh segelintir raksasa teknologi seperti Google, Amazon, Meta, dan Microsoft, sebagian besar berbasis di Amerika Serikat dan Eropa.
Baca Juga: Sidang Tahunan, Puan Pakai Kebaya Berselendang Merah Semangat Anti-Penjajahan
Negara berkembang seperti Indonesia, lanjut laporan itu, justru menjadi pasar sekaligus pemasok data tanpa memiliki kedaulatan penuh atas infrastruktur digitalnya. Banyak layanan cloud dan basis data pemerintah masih bergantung pada penyedia asing, sehingga menimbulkan risiko kebocoran dan ketergantungan strategis.
Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri dalam seminar internasional 70 Tahun Konferensi Asia–Afrika (KAA) di Museum Bung Karno, Blitar, Jawa Timur, Sabtu 1 November 2025. (ANTARA/HO-PDI Perjuangan) (Antara)
Megawati menilai, persoalan digital ini bukan sekadar isu ekonomi, melainkan menyangkut kemanusiaan dan kedaulatan bangsa. Tanpa kendali terhadap teknologi dan data, kata dia, kemerdekaan sejati sulit diwujudkan.
“Dunia membutuhkan a new global ethics, yakni aturan moral global baru, untuk menata kembali kekuasaan dalam ranah teknologi, ekonomi, dan informasi,” ujar Megawati.
Presiden ke-5 RI itu juga menekankan bahwa Indonesia memerlukan keberanian moral sebagaimana yang pernah ditunjukkan Presiden pertama RI Soekarno (Bung Karno). Dunia, menurutnya, membutuhkan regulasi baru agar teknologi tidak menjadi sarana penindasan dalam bentuk modern.
Baca Juga: Prabowo: NKRI Tak Bisa Ditaklukkan, Lebih Baik Mati daripada Dijajah
Lebih lanjut, Megawati menilai nilai-nilai Pancasila dapat menjadi pedoman etik bagi dunia digital. Ia menyebut Pancasila sebagai falsafah universal yang menyeimbangkan antara material dan spiritual, antara hak individu dan tanggung jawab sosial, serta antara kedaulatan nasional dan solidaritas antarbangsa.
Karena itu, ia menegaskan bahwa kemajuan teknologi harus selalu berpijak pada etika kemanusiaan. Dunia, katanya, seharusnya tidak dikendalikan oleh algoritma tanpa hati nurani, melainkan oleh nilai-nilai kemanusiaan yang memuliakan kehidupan.
“Dunia yang baru bukan merupakan dunia yang tunduk pada mesin dan modal, melainkan dunia yang menempatkan manusia sebagai pusat peradaban,” tutur Megawati.
Ia kemudian mengaitkan semangat dekolonisasi tahun 1955 dengan perjuangan menghadapi neokolonialisme digital di era modern.
“Dari Blitar ini, dari pusara Bung Karno, saya menyerukan kepada dunia, mari kita bangun dunia baru! Dunia yang tidak diatur oleh algoritma tanpa hati nurani,” ujarnya menegaskan.
(Sumber: Antara)
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menjadi pembicara kunci pada seminar internasional peringatan 70 tahun Konferensi Asia–Afrika (KAA) di Blitar, Jawa Timur, Sabtu, 1 November 2025. ANTARA/HO-PDI Perjuangan. (Antara)