China Tegas Tolak Ancaman Tarif 100 Persen dari AS, Siap Ambil Langkah Balasan

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 14 Okt 2025, 08:35
thumbnail-author
Deddy Setiawan
Penulis
thumbnail-author
Beno Junianto
Editor
Bagikan
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian dalam konferensi pers di Beijing, Senin (3/3/2025). Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian dalam konferensi pers di Beijing, Senin (3/3/2025). (Antara)

Ntvnews.id, Beijing - Ketegangan antara Amerika Serikat dan China kembali meningkat setelah Presiden AS Donald Trump mengancam akan memberlakukan tarif baru sebesar 100 persen terhadap barang-barang asal China serta membatasi ekspor “perangkat lunak penting”.

Menanggapi hal tersebut, Kementerian Luar Negeri China menyatakan sikap tegas melalui juru bicaranya, Lin Jian, yang mengatakan dalam konferensi pers di Beijing pada Senin, 13 Oktober 2025.

"Izinkan saya menekankan bahwa China dengan tegas menolak pembatasan dan sanksi AS baru-baru ini terhadap China, dan akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk melindungi hak dan kepentingannya yang sah." ujarnya sebagaiman dikutip dari Xinhua, Selasa, 14 Oktober 2025.

Perselisihan kedua negara ini mencuat setelah China, Kamis, 9 Oktober 2025, mengumumkan pembatasan ekspor unsur tanah jarang. Langkah ini memperluas kontrol pemerintah atas teknologi pemrosesan dan manufaktur, sekaligus melarang kerja sama dengan perusahaan asing tanpa izin resmi.

Baca Juga: Trump Ancam Kirim Rudal Tomahawk ke Ukraina Jika Perang dengan Rusia Tak Segera Usai

Sebagai tindakan balasan, Trump pada Jumat, 10 Oktober 2025 menuduh bahwa China menjadi “sangat bermusuhan” dan menjadikan AS serta dunia sebagai “sandera” melalui kebijakan pembatasan ekspor yang mendadak tersebut.

Trump kemudian menegaskan bahwa AS akan mulai memberlakukan tarif 100 persen terhadap produk asal China pada 1 November 2025, atau bahkan lebih cepat, tergantung pada langkah yang diambil China berikutnya.

Menanggapi ancaman tersebut, Lin Jian menyampaikan peringatan keras. "Mengancam tarif tinggi bukanlah cara yang tepat untuk menghadapi China. AS harus memperbaiki pendekatannya dan bertindak berdasarkan kesepahaman bersama yang dicapai kedua presiden dalam panggilan telepon mereka," ujarnya.

Ia menambahkan bahwa kedua negara seharusnya menyelesaikan perbedaan melalui dialog yang didasari kesetaraan, saling menghormati, dan prinsip saling menguntungkan, agar hubungan bilateral tetap stabil, sehat, dan berkelanjutan.

Namun, Lin Jian juga menegaskan sikap China yang tidak akan tinggal diam.

"Jika AS tetap menolak mengubah arah, China akan bertekad kuat mengambil tindakan untuk melindungi hak dan kepentingan sahnya secara mandiri," katanya menegaskan.

Baca Juga: Sosok Peraih Nobel Perdamaian yang Singkirkan Trump dari Nominasi

Sementara itu, Kementerian Perdagangan China menjelaskan bahwa pembatasan ekspor unsur tanah jarang dilakukan untuk melindungi keamanan dan kepentingan nasional, mencakup pengawasan terhadap teknologi penambangan, peleburan, pemisahan, produksi material magnetik, serta daur ulang sumber daya sekunder.

Sebagai respons terhadap kebijakan tersebut, Trump bahkan mengancam untuk membatalkan pertemuan yang telah dijadwalkan dengan Presiden China Xi Jinping di Korea Selatan pada akhir bulan ini, yang semula akan diadakan di sela-sela KTT APEC.

Namun, sikap keras Trump mulai melunak setelah indeks saham utama AS anjlok tajam pada Jumat karena kekhawatiran pasar terhadap potensi pecahnya kembali perang dagang AS–China.

Melalui unggahan di media sosial pada Minggu, 12 Oktober 2025, Trump berusaha meredam kepanikan publik dengan menulis bahwa masyarakat tidak perlu terlalu khawatir mengenai hubungan dengan China. Ia menambahkan bahwa Presiden Xi "hanya sedang mengalami masa sulit. Dia tidak menginginkan depresi ekonomi bagi negaranya, dan saya juga tidak. AS ingin membantu China, bukan menyakitinya."

Ketegangan terbaru ini menandai babak baru dalam persaingan ekonomi dan teknologi antara Washington dan Beijing, dengan kedua negara saling menegaskan posisi strategis mereka di tengah krisis geopolitik dan dinamika perdagangan global.

 
 
 
x|close