Ntvnews.id, Tel Aviv - Setiap tahun, Yonatan Shamriz berusaha membuat ulang tahun putrinya, Yali, terasa normal. Tahun ini, Yali genap berusia empat tahun. Namun, di balik perayaan kecil itu, tersimpan luka mendalam bagi keluarga mereka.
Dilansir dari ABC News, Rabu, 8 Oktober 2025, Yali lahir pada 7 Oktober 2021. Dua tahun kemudian, pada 7 Oktober 2023, komunitas tempat mereka tinggal di Kfar Aza diserang oleh kelompok Hamas. Sebanyak 62 warga tewas dalam peristiwa itu, termasuk saudara laki-laki Yonatan, Alon, yang menjadi salah satu warga Israel yang disandera.
"Itu adalah momen terberat dalam hidup saya," kata Yonatan kepada ABC.
"Saudara saya melakukan segalanya. Mereka berhasil melarikan diri.
Sangat sulit mendengar kalau IDF keliru mengidentifikasinya sebagai teroris."
Alon tewas ditembak oleh militer Israel (IDF) pada Desember 2023 setelah berhasil melarikan diri dari penyanderaan Hamas. Hingga kini, dua tahun kemudian, kehidupan Yonatan masih belum tenang.
"Saya masih menjadi pengungsi di negara sendiri, tidak punya rumah, tinggal di sebuah mobil trailer di pusat Israel," ujarnya.
"Saya tidak berada di zona nyaman. Saya tidak punya saudara laki-laki."
Baca Juga: Israel Deportasi 170 Aktivis Armada Gaza, Termasuk Greta Thunberg
Meski dihantui trauma, Yonatan kini mencurahkan waktunya untuk organisasi Kumu, yang membantu keluarga korban serangan Hamas. Organisasi tersebut menyelenggarakan acara peringatan resmi di Tel Aviv setiap tanggal 7 Oktober.
"Kita bisa lihat keluarga yang berduka dan warga yang paling menderita, setiap orang punya cara yang berbeda dalam menghadapi apa yang hilang dari mereka," katanya.
"Saya merasa harus melakukannya. Saya merasa jika hanya duduk diam dan santai, malah akan tenggelam ke dalam lubang."
Luka yang Tak Kunjung Pulih
Bagi banyak warga Israel, dua tahun perang di Gaza telah meninggalkan trauma mendalam. Serangan Hamas pada 2023 menewaskan sekitar 1.200 orang—sebagian besar warga sipil—dan menyandera 250 orang. Sebagai balasan, Israel melancarkan operasi militer besar-besaran ke Gaza.
Namun, cara Israel melancarkan perang kini banyak menuai kritik. Sejak Oktober 2023, lebih dari 67.000 warga Palestina tewas menurut otoritas kesehatan di Gaza. Komisi independen PBB bahkan menyebut tindakan Israel berpotensi mengarah pada genosida.
Sementara itu, IDF telah menguasai lebih dari 75 persen wilayah Gaza, memaksa lebih dari dua juta penduduk meninggalkan rumah mereka. Situasi ini membuat masyarakat Israel sendiri terpecah. Banyak yang mendukung perang, namun semakin banyak pula yang merasa perang ini harus diakhiri.
Yonatan mengungkapkan, "Saya pikir rakyat Israel berbeda dengan para pemimpinnya. Kebanyakan orang ingin ada komite nasional untuk menyelidiki apa yang terjadi pada 7 Oktober, kebanyakan orang ingin ada pemilu, kebanyakan orang ingin perang berakhir dan para sandera dipulangkan. Dan selama dua tahun, tak satu pun dari itu yang kami dapatkan."
Pergeseran Politik ke Kanan
Peneliti dari Shalom Hartman Institute, Tomer Persico, menyebut bahwa dua tahun perang ini telah mengubah wajah politik dan sosial Israel secara drastis.
"Kita sudah dua tahun berada dalam perang yang berawal dari trauma yang tak terbayangkan bagi orang Israel, dan juga bagi orang Yahudi," ujarnya.
Baca Juga: Trump Perintahkan Israel Hentikan Serangan di Gaza
"Ketika trauma ini menumpuk di atas semua ingatan itu, reaksinya bisa dipahami, akan menjadi penuh kekerasan, akan penuh dendam."
Persico mengatakan bahwa masyarakat Israel kini semakin memeluk nilai-nilai Yahudi tradisional. “Kita melihat banyak orang kembali ke tradisi, bahkan beberapa menjadi Yahudi Ortodoks,” katanya.
Ia juga menyoroti meningkatnya pengaruh politisi sayap kanan seperti Bezalel Smotrich dan Itamar Ben-Gvir. “Mereka punya visi untuk menduduki Jalur Gaza dan menempatkan orang Yahudi di sana, serta membersihkan Gaza dari warga Palestina secara etnis,” ungkapnya.
Namun, Persico menegaskan bahwa meski masyarakat Israel bergeser ke kanan, bukan berarti mereka mendukung pemerintahan Netanyahu. “Paradoksnya, ada pergeseran ke kanan di kalangan rakyat, tetapi juga ada sikap antagonis terhadap pemerintahan yang paling sayap kanan yang pernah berkuasa di Israel.”
Rasa Lelah dan Keinginan untuk Damai
Setelah dua tahun perang tanpa akhir, rasa lelah dan frustrasi melanda warga Israel. Survei Israel Democracy Institute menunjukkan 66 persen warga percaya sudah saatnya perang dihentikan. Selain itu, 64 persen responden menilai Perdana Menteri Benjamin Netanyahu harus bertanggung jawab atas kegagalan keamanan dan mundur dari jabatannya.
Sementara itu, pandangan komunitas Yahudi internasional juga berubah. Survei The Washington Post mencatat 61 persen responden percaya Israel melakukan kejahatan perang di Gaza, meski 76 persen masih menganggap keberadaan Israel penting bagi masa depan masyarakat Yahudi.
Yonatan, seperti banyak warga Israel lainnya, kini hanya menginginkan satu hal: kedamaian. “Saya pikir seseorang akan harus disalahkan, karena begitulah cara kerja manusia,” kata Dr Persico menutup wawancara.
Setelah dua tahun penuh darah dan air mata, sebagian besar warga Israel kini berharap perang berakhir dan para sandera bisa segera pulang — meski kedamaian masih terasa jauh dari jangkauan.