Ntvnews.id, Jakarta - Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mengajak masyarakat menyisihkan Rp1.000 per hari melalui gerakan Poe Ibu atau Rereongan Sapoe Sarebu, mendapat beragam tanggapan dari warga. Gerakan ini digagas sebagai bentuk gotong royong untuk membantu warga kurang mampu, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan.
Meski niatnya dianggap positif, sebagian masyarakat mengkhawatirkan mekanisme pelaksanaan program tersebut. Mereka menilai, pengelolaan dana harus lebih transparan dan akuntabel agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Seorang warga dengan akun Instagram @rakyat.jelata803 menyampaikan kritikan keras terhadap kebijakan ini. Ia menilai program tersebut terlalu memberatkan masyarakat, termasuk anak sekolah dan pekerja dengan pendapatan rendah.
“Dedi Mulyadi disuruh atasan bikin program mengatasnamakan rakyat, bantu desa, rakyatlah apa, sampai anak sekolah, buruh, segala macem. Bahkan anak sekolah mau dipungut Rp1.000 per orang, kali berapa juta jiwa?” tulisnya.
Ia juga mempertanyakan motif di balik program tersebut, menyebut dugaan kepentingan politik menjelang Pilpres 2029.
“Jangan mengatasnamakan rakyat. Udah kelaparan, gak bisa nambah anggaran, gak bisa korupsi dari berbagai sisi. Atasan lu juga yang setting buat jadi bintang naik di 2029, mimpi naik jadi RI 1, udah kelaperan?” lanjutnya.
Baca Juga: Dedi Mulyadi Bakal Umumkan Pegawai Termalas Pemprov Jabar Tiap Bulan Lewat Media Sosial
Menanggapi kritik tersebut, Dedi Mulyadi melalui akun Instagram pribadinya menekankan bahwa gerakan ini bersifat ajakan, bukan kewajiban yang harus selalu dibayarkan oleh warga Jabar.
“Bukan kewajiban, tetapi hanya ajakan. Hari ini kita menyumbang, boleh jadi besok lusa kita yang membutuhkan bantuan,” tulisnya.
Sejak diluncurkan, gerakan Poe Ibu menuai pro dan kontra. Pemerhati sosial menilai, meski semangat gotong royong perlu diapresiasi, pemerintah daerah wajib memastikan mekanisme pengumpulan dan penyaluran dana berjalan transparan agar tujuan sosial program benar-benar tercapai.