Ntvnews.id, Kuala Lumpur - Sejumlah anggota parlemen Malaysia dilaporkan menjadi korban kejahatan siber dengan modus video cabul buatan artificial intelligence (AI). Para pelaku disebut menuntut uang dalam jumlah besar dengan ancaman akan menyebarkan video tersebut jika tebusan tidak dibayarkan.
Dilansir dari The Star, Senin, 15 September 2025, Anggota Parlemen Sungai Petani, Mohammed Taufiq Johari, dan Anggota Dewan Kota Anggerik, Mohd Najwan Halimi, mengaku menerima email berisi ancaman dengan lampiran gambar hasil rekayasa serta permintaan uang tebusan.
Taufiq menjelaskan dirinya menerima email pada Jumat, 12 September 2025 dari akun tak dikenal. Surat elektronik itu berisi video palsu dan tuntutan sebesar USD 100.000 (sekitar Rp 1,6 miliar) untuk mencegah penyebaran. Ia telah melaporkan kasus ini ke Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia (MCMC) serta berencana membuat laporan polisi untuk penyelidikan lebih lanjut.
Baca Juga: Wamen Ekraf: Kecerdasan Buatan Harus Hadir sebagai Solusi Praktis dalam Kehidupan
Hal serupa dialami Najwan, yang juga menjabat sebagai Ketua Komite Pemuda, Olahraga, dan Kewirausahaan Selangor. Ia menerima ancaman dengan lampiran tangkapan layar video palsu yang menyerupai wajahnya, beserta tuntutan tebusan dengan nilai sama. Najwan pun melaporkannya ke MCMC dan pihak kepolisian.
Mereka menambah daftar pejabat yang lebih dulu mengalami ancaman serupa, termasuk Anggota Parlemen Pandan, Datuk Seri Rafizi Ramli; Anggota Parlemen Subang, Wong Chen; dan Anggota Parlemen Kota Kinabalu, Chan Foong Hin.
Rafizi menyebut dirinya menerima tangkapan layar video palsu beserta kode QR untuk transfer uang, sementara kantor Chan juga mengadukan ancaman tersebut ke MCMC.
Baca Juga: Menghapus Mimpi Buruk pada Kehadiran Kecerdasan Buatan
Wong, di sisi lain, menyampaikan kekhawatirannya. "Fakta bahwa upaya pemerasan ini begitu palsu dan dieksekusi dengan sangat buruk, membuat saya semakin khawatir," katanya. Ia menilai kondisi keamanan sebagai legislator saat ini lebih rawan dibanding masa ketika dirinya masih berada di oposisi.
Skema pemerasan ini diduga mengikuti pola serupa, yakni memanfaatkan teknologi AI untuk membuat video manipulatif, melampirkan tangkapan layar palsu dalam surel, lalu menuntut pembayaran dalam jumlah besar. Para anggota parlemen yang menjadi target menegaskan mereka menolak untuk membayar dan memilih membawa kasus ini ke otoritas berwenang.