Beres-beres Myanmar, Darurat Militer Dicabut Hingga Junta Siapkan Pemilu

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 2 Agu 2025, 10:02
thumbnail-author
Deddy Setiawan
Penulis
thumbnail-author
Ramses Manurung
Editor
Bagikan
Pemimpin junta Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing saat menghadiri parade militer memperingati 78 tahun angkatan bersenjata Myanmar di Naypyidaw, Myanmar, Jumat, 1 Agustus 2025. Pemimpin junta Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing saat menghadiri parade militer memperingati 78 tahun angkatan bersenjata Myanmar di Naypyidaw, Myanmar, Jumat, 1 Agustus 2025. (Antara)

Ntvnews.id, Napydaw - Pemerintah militer Myanmar mengumumkan berakhirnya status darurat nasional yang diberlakukan sejak kudeta Februari 2021. Namun, banyak pihak menilai langkah ini hanyalah manuver politik tanpa perubahan nyata dalam struktur kekuasaan. Min Aung Hlaing, tokoh utama kudeta, tetap memegang kendali sebagai presiden sementara dan panglima militer.

Dilansir dari DW, Sabtu, 2 Agustus 2025, pengumuman tersebut disampaikan sebagai bagian dari agenda menuju pemilu yang rencananya digelar akhir tahun ini. Namun analis dan kelompok oposisi menilai pemilu tersebut tidak sah dan hanya memperkuat dominasi militer dalam situasi negara yang masih dilanda konflik bersenjata.

"Enam bulan ke depan akan digunakan untuk persiapan pelaksanaan pemilu," ujar juru bicara junta, Zaw Min Tun, dalam pernyataan yang disampaikan lewat media pemerintah.

Pergantian Kosmetik Tanpa Pergeseran Kekuasaan

Menjelang habisnya perpanjangan ketujuh status darurat, junta membentuk struktur pemerintahan baru. Min Aung Hlaing menyerahkan posisi perdana menteri kepada penasihatnya, Jenderal Nyo Saw, namun tetap mempertahankan kekuasaan tertinggi sebagai presiden sementara dan ketua Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional, lembaga yang kini memegang kendali pemerintahan.

Baca Juga: Junta Myanmar Akhiri Status Darurat Setelah 4,5 Tahun

Selain itu, militer juga membentuk Komisi Keamanan dan Perdamaian Negara untuk mengawasi jalannya pemilu, bersama dengan Komisi Pemilu dan Komisi Anti-Korupsi—semuanya di bawah kendali Min Aung Hlaing.

“Mereka sekadar mengganti nama dan wajah dari struktur lama,” kata David Mathieson, analis independen untuk isu Myanmar. “Ini hanya bagian dari upaya persiapan pemilu yang belum jelas pelaksanaannya.”

Pemilu di Tengah Konflik dan Ketidakpastian

Pemilu yang awalnya dijadwalkan pada Agustus 2023 telah mengalami berbagai penundaan. Kini, junta menyatakan pemungutan suara akan dimulai secara bertahap antara Desember 2025 dan Januari 2026, bergantung pada situasi keamanan wilayah.

Namun, kondisi di lapangan tidak mendukung. Dari 330 kotapraja di seluruh Myanmar, militer hanya mampu melaksanakan sensus penduduk di 145 wilayah, menunjukkan lemahnya kontrol mereka di sebagian besar daerah.

Pada Kami, 31 Juli 2025, televisi nasional MRTV mengabarkan bahwa darurat militer selama 90 hari akan diberlakukan di 63 kotapraja di sembilan negara bagian dan wilayah, sebagian besar di area yang dikuasai kelompok bersenjata oposisi.

Krisis Kemanusiaan Meningkat, Oposisi Menolak Pemilu

Sejak kudeta terjadi, kekerasan terus memburuk dan konflik berkembang menjadi perang saudara. Berdasarkan data AAPP, lebih dari 7.000 warga sipil tewas dibunuh oleh militer, dan hampir 30.000 lainnya ditahan tanpa proses hukum.

Baca Juga: WNI Ditangkap di Myanmar, DPR Minta Pemerintah Tempuh Diplomasi

Menurut Amnesty International, lebih dari 3,5 juta orang kini menjadi pengungsi internal. Kelompok oposisi dan organisasi masyarakat sipil telah menyatakan tidak akan berpartisipasi dalam pemilu yang dianggap tidak sah dan tidak demokratis.

"Pemilu ini tidak bisa disebut demokratis tanpa adanya media bebas, sementara para pemimpin partai Aung San Suu Kyi banyak yang ditahan," kata seorang pemerhati hak asasi manusia Asia Tenggara.

Tanggapan Internasional: China Mendukung, Barat Mengecam

Sementara negara-negara Barat mengutuk pemilu Myanmar sebagai kedok untuk memperpanjang kekuasaan militer, Tiongkok justru memberikan dukungan. Kementerian Luar Negeri Tiongkok menyatakan bahwa mereka mendukung "jalur pembangunan Myanmar sesuai dengan kondisi nasional dan stabilitas politik domestik."

Namun, banyak pihak menilai dukungan Beijing hanya memperkuat legitimasi pemerintahan militer yang dinilai terus melakukan pelanggaran HAM. Di saat yang sama, ASEAN masih tampak terpecah dalam merespons krisis Myanmar.

“Pemilu ini bukan cerminan kehendak rakyat, tapi alat militer untuk mendapatkan legitimasi,” kata seorang diplomat Barat yang enggan disebut namanya.

 

x|close