Warga Sipil Kamboja-Thailand Kompak Tak Mau Tinggalkan Rumah di Perbatasan

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 28 Jul 2025, 10:46
thumbnail-author
Deddy Setiawan
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Warga mengungsi di Thailand, menyusul bentrokan di perbatasan Thailand-Kamboja pada 24 Juli 2025. Warga mengungsi di Thailand, menyusul bentrokan di perbatasan Thailand-Kamboja pada 24 Juli 2025. (Antara)

Ntvnews.id, Bangkok - Di tengah gempuran artileri di perbatasan antara Thailand dan Kamboja, seorang petani bernama Samuan Niratpai bersikeras untuk tetap tinggal bersama kawanan kerbaunya, meski nyawanya dipertaruhkan.

"Setiap hari pukul 5 pagi, saya mendengar suara ledakan dan dentuman keras. Kemudian saya lari ke hutan untuk berlindung," ujar pria berusia 53 tahun itu kepada AFP dari desanya, Baan Bu An Nong, yang berada di Provinsi Surin, hanya sekitar 40 km dari wilayah perbatasan yang tengah memanas, dikutip dari AFP, Senin, 28 Juli 2025.

Meskipun keluarganya yang beranggotakan lima orang telah mengungsi ke Bangkok sejak bentrokan pecah pada Kamis, 24 Juli, Samuan tetap bertahan di desa bersama ayam peliharaan, tiga ekor anjing, dan 14 kerbaunya.

"Bagaimana mungkin saya meninggalkan kerbau-kerbau ini?" katanya dengan mata berkaca-kaca.

"Saya akan sangat mengkhawatirkan mereka. Setelah serangan, saya akan pergi dan menghibur mereka, mengatakan 'Tidak apa-apa, kita bersama'." jelasnya.

Pertempuran antara Thailand dan Kamboja telah memasuki hari keempat pada Minggu, setelah sengketa terkait kuil suci meningkat menjadi konflik bersenjata yang melibatkan jet tempur, tank, dan pasukan infanteri.

Baca Juga: 8 Daerah di Thailand Darurat Militer, Apa Saja?

Pemerintah Thailand menyatakan bahwa pembicaraan damai antar pemimpin kedua negara dijadwalkan berlangsung pada Senin Malaysia.

Di tengah konflik ini, setidaknya 34 korban jiwa telah tercatat dari kedua belah pihak, sebagian besar adalah warga sipil. Selain itu, lebih dari 200.000 penduduk telah terpaksa meninggalkan rumah mereka di sepanjang garis perbatasan sepanjang 800 km yang didominasi oleh lahan pertanian karet dan sawah.

Namun, di balik lereng-lereng perbukitan yang memisahkan kedua negara, banyak warga tetap memilih bertahan.

Salah satunya adalah Soeung Chhivling, seorang pemilik rumah makan asal Kamboja. Meski ledakan terjadi tak jauh dari tempatnya, ia tetap sibuk menyiapkan makanan untuk para tentara dan tenaga medis yang bertugas di garis depan.

"Saya juga takut, tapi saya ingin memasak agar mereka punya sesuatu untuk dimakan," ujar perempuan berusia 48 tahun itu, yang tinggal tak jauh dari rumah sakit tempat para korban dirawat, di kota Samraong sekitar 20 km dari perbatasan Thailand—di mana sebagian besar rumah dan toko telah kosong.

"Saya tidak punya rencana untuk mengungsi kecuali jet menjatuhkan banyak bom," tambahnya kepada AFP.

Lebih baik mati di rumah
Sementara itu, di Thailand, Pranee Ra-ngabpai—seorang peneliti sekaligus warga lokal—mengungkapkan bahwa banyak warga, termasuk ayahnya, tetap tinggal karena berpegang pada prinsip hidup yang kuat.

"Dia masih di rumah saat ini dan menolak untuk pergi," ujar Pranee.

"Ada pola pikir ini: 'Jika saya mati, saya lebih baik mati di rumah' atau 'Saya tidak bisa meninggalkan sapi-sapi saya’,” katanya.

Desa Baan Bu An Nong saat ini telah dikategorikan sebagai "zona merah", yang berarti berada dalam risiko tinggi terkena serangan udara, tembakan artileri, dan pertempuran langsung antar pasukan.

Baca Juga: Dasco Harap Presiden dan Kemenlu Bisa Jadi Penengah Konflik Thailand-Kamboja

Meski begitu, seorang tokoh desa bernama Keng Pitonam yang berusia 55 tahun, juga menolak meninggalkan kampung halamannya. Ia justru sibuk mengangkut rumput ke gerobak roda tiganya untuk memberi makan hewan ternak, termasuk milik para tetangganya.

"Saya harus tetap tinggal – ini tugas saya," ucap Keng kepada AFP.

"Saya tidak takut. Saya tidak bisa mengabaikan tanggung jawab saya," tambahnya.

"Jika seseorang seperti saya, seorang pemimpin, meninggalkan desa, apa artinya itu? Saya harus berada di sini untuk melayani masyarakat, apa pun yang terjadi,” lanjutnya.

Kuil desa setempat telah beralih fungsi menjadi pusat bantuan dan evakuasi darurat, dengan ambulans-ambulans siaga di sekitarnya.

"Saya harus tetap tinggal, untuk menjadi jangkar spiritual bagi mereka yang tetap tinggal," kata kepala biara, yang enggan menyebutkan namanya. "Apa pun yang terjadi, terjadilah."

Sementara itu, di sebuah bunker hanya berjarak 10 km dari garis batas, Sutian Phiewchan menghubungi AFP melalui sambungan telepon. Suaranya sempat terputus oleh bunyi tembakan di latar belakang.

Ia memilih bertahan karena perannya sebagai relawan pertahanan sipil yang bertugas menjaga keselamatan sekitar 40 warga yang belum mengungsi.

"Semua orang di sini ketakutan dan kurang tidur," kata pria berusia 49 tahun itu.

"Kami melakukan ini tanpa bayaran. Tapi ini tentang melindungi nyawa dan harta benda warga desa kami,” tutup Phiewchan.

x|close