APVI Nilai Raperda KTR DKI Perlu Disusun Secara Proporsional

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 18 Des 2025, 20:11
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Penulis & Editor
Bagikan
Pendiri JVS Group sekaligus Ketua Umum Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Periode 2023-2026, Budiyanto Imam Suyanto. Pendiri JVS Group sekaligus Ketua Umum Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Periode 2023-2026, Budiyanto Imam Suyanto. (JVS Group)

Ntvnews.id, Jakarta - Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Provinsi DKI Jakarta yang saat ini memasuki tahap harmonisasi di Kementerian Dalam Negeri kembali menuai sorotan. Regulasi tersebut dinilai menimbulkan kekhawatiran baru, khususnya di kalangan pelaku usaha kecil dan masyarakat akar rumput.

Sejumlah pemberitaan nasional mencatat kegelisahan serupa yang disampaikan pedagang pasar, ritel kecil, hingga ekonom independen yang menilai Raperda KTR berpotensi menggerus aktivitas ekonomi di tingkat bawah.

Ketua Umum Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Budiyanto, menegaskan bahwa kebijakan pengendalian konsumsi semestinya disusun dengan tetap mengedepankan prinsip proporsionalitas serta perlindungan terhadap masyarakat. Ia menilai draf Raperda KTR yang beredar saat ini mengandung konsekuensi sosial yang tidak bisa dianggap sepele.

“APVI mendukung sepenuhnya regulasi yang melindungi anak-anak. Meski demikian, rancangan Perda juga jangan sampai mematikan pelaku UMKM dan menutup akses bagi konsumen dewasa. Selain itu, Perda jangan sampai memicu semakin maraknya peredaran produk ilegal. Itu sebabnya kami mohon Gubernur dan DPRD untuk meninjau ulang Perda DKI sebelum disahkan,” ujar Budiyanto.

Baca Juga: HIPPINDO dan AKRINDO Tanggapi Raperda KTR DKI Jakarta

Menurut APVI, sejumlah ketentuan dalam Raperda KTR justru berpotensi menciptakan insentif negatif yang mendorong meningkatnya peredaran produk ilegal. Larangan pemajangan produk, pelarangan promosi secara menyeluruh, serta pembatasan radius hingga 200 meter dari seluruh jenis satuan pendidikan, termasuk lembaga kursus non-formal yang banyak tersebar di kawasan komersial, dinilai akan semakin menyulitkan ritel legal. Ketika ruang distribusi legal ditekan, pasar dikhawatirkan akan bergeser ke produk tanpa cukai dan tidak memenuhi standar keamanan.

Penilaian tersebut, menurut APVI, sejalan dengan analisis sejumlah ekonom independen yang telah diberitakan sebelumnya. Termasuk pandangan dari INDEF yang menyebut bahwa rencana pengaturan ini berisiko mengancam keberlangsungan pedagang kecil sekaligus memperlebar ruang perdagangan tidak resmi.

Dampak sosial dan ekonomi dari pembatasan yang dinilai terlalu luas juga menjadi perhatian. Tanpa adanya pembedaan yang jelas antara kategori pendidikan formal dan non-formal, banyak ruko komersial serta pasar tradisional berpotensi otomatis masuk ke dalam zona larangan penjualan dengan radius 200 meter. Kondisi ini dikhawatirkan akan menghilangkan sumber penghidupan ribuan pedagang kecil yang saat ini masih berjuang dalam fase pemulihan ekonomi.

Selain itu, larangan total terhadap pemajangan dan komunikasi produk dinilai membuat konsumen dewasa kehilangan hak untuk mengetahui legalitas serta perbedaan produk yang beredar. Situasi tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip perlindungan konsumen dan secara tidak langsung memperbesar ruang pasar gelap yang tidak terkontrol.

Baca Juga: Pramono Kembali Tegaskan Raperda Tanpa Rokok Tak Ganggu UMKM

Dalam konteks itu, APVI menyampaikan permohonan resmi kepada Gubernur DKI Jakarta dan DPRD agar proses penyusunan kebijakan dilakukan secara lebih berhati-hati. Menurut APVI, pembatasan seharusnya dirumuskan berdasarkan bukti yang kuat, selaras dengan regulasi nasional, serta tetap mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat setempat. Selain itu, dampak sosial-ekonomi terhadap UMKM dan masyarakat luas perlu dikaji secara menyeluruh, termasuk risiko meningkatnya peredaran produk tembakau ilegal.

“Kami memohon perlindungan kepada Bapak Gubernur dan meminta agar proses harmonisasi diperhatikan secara seksama. Kami juga berharap DPRD membuka ruang dialog lintas pemangku kepentingan sebelum Perda ini ditetapkan. Jakarta tidak boleh menjadi episentrum pasar ilegal hanya karena regulasi yang disusun tanpa penilaian risiko sosial yang memadai,” tambah Budiyanto.

APVI juga menyambut positif pernyataan sejumlah anggota DPRD yang sebelumnya menyampaikan bahwa ruang aspirasi publik masih terbuka. Organisasi tersebut berharap forum tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal untuk merumuskan kebijakan berbasis bukti yang mampu melindungi masyarakat secara adil dan proporsional.

x|close