INDEF dan APKLI Sampaikan Catatan atas Raperda KTR DKI Jakarta

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 5 Des 2025, 18:37
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Penulis & Editor
Bagikan
Tanda dilarang merokok. Tanda dilarang merokok. (Pixabay)

Ntvnews.id, Jakarta - Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memberlakukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) memunculkan kekhawatiran dari berbagai kalangan, terutama pelaku usaha kecil dan pakar ekonomi. Mereka menilai kebijakan tersebut dapat menekan aktivitas ekonomi pedagang kecil yang selama ini mengandalkan penjualan produk tembakau sebagai penarik konsumen.

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, Rizal Taufikurahman, menegaskan bahwa pembatasan terhadap produk tembakau tidak bisa dilepaskan dari dampak ekonomi yang ditimbulkan, khususnya bagi UMKM seperti warung, kios, dan pedagang kelontong. Ia menilai rokok selama ini berfungsi sebagai “instrumen” yang mendorong konsumen membeli kebutuhan lain.

“Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) membawa dampak langsung bagi UMKM seperti warung, kios, dan pedagang kelontong. Pembatasan ruang merokok dan larangan penjualan (rokok) di area tertentu bisa menurunkan omzet, karena selama rokok ini menjadi penarik traffic pembeli,” ujar Rizal dalam keterangannya, Jumat, 5 Desember 2025.

Rizal menjelaskan bahwa pola konsumsi di warung berbeda dengan ritel besar: banyak pembeli datang untuk membeli rokok, kemudian melanjutkan belanja kebutuhan harian lainnya. Hilangnya akses tersebut, lanjutnya, akan memengaruhi pendapatan pelaku usaha kecil.

Baca Juga: Sejumlah Titik di Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu Dilanda Banjir Rob pada Jumat Siang

“Jika diterapkan, pelaku usaha di zona larangan akan kehilangan sebagian pendapatannya,” kata Rizal.

Ia meminta Pemprov DKI menyiapkan peta zonasi yang jelas, melakukan sosialisasi secara terbuka, serta memastikan dukungan permodalan bagi pelaku usaha yang terdampak. Menurutnya, aturan yang multitafsir berisiko membuka peluang pungutan liar di lapangan.

“Banyak warung berada dalam radius larangan. Tanpa pemetaan akurat, aturan ini bisa memicu konflik horizontal dan resistensi antar pelaku usaha,” jelasnya.

Pendapat serupa datang dari Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI). Ketua Umum APKLI, Ali Mahsun Atmo, menilai sejumlah pasal dalam Raperda KTR berpotensi menekan pendapatan para pedagang kecil yang menggantungkan hidup dari sektor kuliner dan pasar rakyat.

Baca Juga: Waspada! Ini Titik Banjir Rob di Wilayah Pesisir Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu

“Perluasan kawasan tanpa rokok ke kuliner rakyat dan pasar rakyat itu tidak ada rasionalitas dan objektivitas. Kalau itu terjadi di Warung Tegal (warteg), warung kopi, Soto Lamongan, los-los, tenda dan sebagainya dilarang merokok, omzetnya langsung anjlok,” kata Ali.

Ia juga meminta DPRD DKI Jakarta memenuhi komitmen untuk menghapus pasal-pasal yang melarang penjualan rokok di area tertentu. Menurutnya, memasukkan warung kuliner dan pasar rakyat ke dalam cakupan KTR akan langsung memukul UMKM, sektor yang menurutnya menjadi fondasi ekonomi informal di Jakarta.

Selain itu, sejumlah pihak menilai kebijakan zonasi larangan penjualan rokok dengan radius 200 meter serta pembatasan pemajangan produk dapat mendorong kenaikan peredaran rokok ilegal. Pemerintah pusat pun saat ini tengah fokus menekan pasar gelap tersebut. Pembatasan akses terhadap rokok legal dinilai dapat membuat konsumen beralih ke produk ilegal, yang bukan hanya mengurangi penerimaan negara dari cukai tetapi juga menyulitkan pengawasan serta penegakan hukum.

x|close