Ntvnews.id, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa baru yang memprotes pembayaran pajak terkait sembako hingga Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Sebab, pembayaran pajak tersebut dinilai tidak adil.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akan menindaklanjuti terbitnya fatwa MUI tersebut. Menurut Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, pihaknya akan bertanya kepada Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa, terkait fatwa MUI.
"Terkait fatwa MUl. Ya, nanti kita akan lihat juga dan kita akan tanyakan kepada Kementerian Keuangan apakah itu sudah menjadi masukan dari MUI," ujar Cucun di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 25 November 2025.
Menurutnya, DPR juga akan berkoordinasi dengan pihak kementerian keuangan (Kemenkeu) secara menyeluruh, guna menanyakan bagaimana pihak Kemenkeu menyikapi fatwa MUI tersebut.
"Dan nanti ada pertimbangannya, kita juga akan tanya. Seperti apa Kementerian Keuangan menyikapi fatwa tersebut," kata dia.
Sebelumnya, MUI memprotes pajak kebutuhan pokok seperti sembako hingga PBB. Menurut mereka pengenaan pajak tersebut tak adil.
Ini merupakan fatwa baru MUI terkait prinsip pajak berkeadilan yang baru dikeluarkan mereka. Fatwa muncul menyikapi kegelisahan publik terkait kenaikan PBB.
Dalam ketentuan tersebut, MUI menegaskan bahwa rumah dan tanah yang ditempati tidak semestinya dikenai pungutan berulang.
Baca Juga: Rano Karno Respons Fatwa MUI Soal PBB
"Kenaikan yang tidak proporsional itu menimbulkan keresahan. Fatwa ini diharapkan menjadi acuan perbaikan regulasi," ujar Ketua Komisi Fatwa SC Munas XI MUI, Asrorun Ni’am Sholeh, di sela Munas XI MUI di Jakarta Utara, Minggu, 23 November malam.
MUI menuturkan, objek pajak seyogianya dibebankan pada harta yang dapat diproduktifkan atau bersifat sekunder dan tersier. Pengenaan pajak pada kebutuhan pokok seperti sembako, rumah yang dihuni, atau tanah tempat tinggal, dirasa tak sejalan dengan prinsip keadilan fiskal.
Selain itu, kata Ni’am, kewajiban pajak secara syariat hanya dikenakan kepada warga yang mampu. Ia mengaitkan batas kemampuan itu dengan nishab zakat mal, yakni setara 85 gram emas, yang dapat dijadikan rujukan batas tidak kena pajak (PTKP).
Guna memastikan praktik perpajakan berjalan adil, MUI mendorong pemerintah merevisi pengenaan pajak progresif yang dinilai membebani kelompok masyarakat tertentu.
Baca Juga: Bos Pajak Respons Fatwa MUI Pajak Berkeadilan: PBB Itu di Pemerintah Daerah
Optimalisasi pengelolaan kekayaan negara juga ditekankan sebagai langkah yang harus diprioritaskan sebelum pemerintah memperluas basis pajak.
MUI juga mengingatkan pemerintah untuk memberantas mafia pajak yang merugikan masyarakat dan mengganggu prinsip keadilan distribusi. Pemerintah dan DPR pun dinilai memiliki tanggung jawab mengevaluasi regulasi perpajakan yang dianggap tidak proporsional.
MUI meminta agar fatwa tersebut dijadikan dasar dalam merumuskan kembali kebijakan terkait PPN, PPh, PBB, pajak kendaraan bermotor, hingga pajak waris yang kerap dinaikkan demi menambah pendapatan daerah tanpa mempertimbangkan kondisi riil masyarakat.
Di samping isu pajak, Munas XI MUI juga mengesahkan empat fatwa lain. Antara lain, pedoman pengelolaan rekening dormant, aturan pengelolaan sampah di wilayah perairan, status saldo kartu uang elektronik yang hilang atau rusak, dan fatwa mengenai manfaat produk asuransi kematian dalam skema asuransi jiwa syariah.
Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal. (Antara)