Polri Tetapkan 4 Tersangka Korupsi Proyek PLTU Kalbar

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 6 Okt 2025, 16:57
thumbnail-author
Irene Anggita
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Kepala Kortastipidkor Polri Irjen Pol. Cahyono Wibowo (tengah) bersama Direktur Penindakan Kortastipidkor Polri Brigjen Pol. Totok Suharyanto (kanan) dan Kabagpenum Ropenmas Divisi Humas Polri Kombes Pol Erdi A. Chaniago (kiri) berbicara dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (6/10/2025). Kepala Kortastipidkor Polri Irjen Pol. Cahyono Wibowo (tengah) bersama Direktur Penindakan Kortastipidkor Polri Brigjen Pol. Totok Suharyanto (kanan) dan Kabagpenum Ropenmas Divisi Humas Polri Kombes Pol Erdi A. Chaniago (kiri) berbicara dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (6/10/2025). (ANTARA)

Ntvnews.id, Jakarta - Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri telah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam dugaan korupsi proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat yang berlangsung pada 2008–2018.

Kepala Kortastipidkor Polri, Inspektur Jenderal Polisi Cahyono Wibowo, menyebutkan bahwa para tersangka terdiri dari FM yang merupakan mantan Direktur Perusahaan Listrik Negara, HK selaku Presiden Direktur PT BRN, RR selaku Direktur Utama PT BRN, dan HYL selaku Direktur Utama PT Praba Indopersada (PI).

"Pada tanggal 3 Oktober 2025, kami tetapkan sebagai tersangka melalui mekanisme gelar perkara," ujar Cahyono dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Senin, 6 Oktober 2025.

Cahyono menjelaskan bahwa modus korupsi dalam proyek ini melibatkan pemufakatan untuk memenangkan pelaksanaan pekerjaan.

"Setelah dilakukan kontrak, kemudian ada pengaturan-pengaturan sehingga ini terjadi keterlambatan pembangunan sejak tahun 2008 sampai tahun 2018," tambahnya.

Baca Juga: Polda Metro Selidiki Data Polri yang Dibobol Hacker Mengaku Bjorka

Sementara itu, Direktur Penindakan Kortastipidkor Polri, Brigadir Jenderal Polisi Totok Suharyanto, menerangkan bahwa pada 2008, FM terlibat pemufakatan guna memenangkan HK dan RR dari PT BRN dalam lelang pembangunan PLTU 1 Kalbar.

Dalam proses lelang, panitia pengadaan yang diarahkan oleh FM meloloskan dan memenangkan KSO-BRN-Alton-OJSC, meskipun perusahaan tersebut tidak memenuhi persyaratan teknis maupun administrasi.

"Selain itu, diduga kuat bahwa perusahaan Alton dan OJSC tidak tergabung dalam KSO yang dibentuk dan dikepalai oleh PT BRN," jelas Totok.

Totok menambahkan bahwa pada 2009, sebelum penandatanganan kontrak dilakukan, KSO BRN memindahkan seluruh pekerjaan kepada PT Praba Indopersada yang dipimpin HYL, dengan kesepakatan pemberian imbalan kepada PT BRN. HYL juga diberi hak mengelola keuangan KSO BRN.

Baca Juga: Kapolri Lantik Komandan Brimob dan Kabaintelkam

"Dalam hal ini diketahui bahwa PT Praba juga tidak memiliki kapasitas untuk mengerjakan proyek PLTU di Kalimantan Barat," ujar Totok.

Lebih lanjut, pada 11 Juni 2009, dilakukan penandatangan kontrak antara FM selaku Direktur Utama PLN dengan RR sebagai Direktur Utama PT BRN. Namun hingga berakhirnya kontrak pada 28 Februari 2012, KSO BRN dan PT Praba Indopersada baru menyelesaikan 57 persen pekerjaan.

Hingga amandemen kontrak kesepuluh yang berakhir pada 31 Desember 2018, pekerjaan tidak kunjung selesai.

"Fakta sebenarnya pekerjaan telah terhenti sejak 2016 dengan hasil pekerjaan 85,56 persen sehingga KSO BRN telah menerima pembayaran dari perusahaan listrik negara sebesar Rp323 miliar dan sebesar 62,4 juta dolar AS," ungkap Totok.

Berdasarkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, nilai pembayaran tersebut ditetapkan sebagai kerugian total (total loss) bagi keuangan negara.

Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP.

(Sumber: Antara)

x|close