Ntvnews.id, Casablanca - Setelah sebelumnya Nepal diguncang oleh gelombang demonstrasi yang dipelopori oleh generasi muda, kini Maroko menghadapi situasi serupa. Pada Selasa malam, 30 September 2025, bentrokan besar meletus di sejumlah kota setelah empat hari berturut-turut aksi protes sejak 27 September, dengan tuntutan utama reformasi sektor kesehatan dan pendidikan.
Dilansir dari France24, Kamis, 2 Oktober 2025, kerusuhan terjadi di Inezgane dekat Agadir, ketika para demonstran bertopeng melempari polisi dengan batu, membakar area di sekitar pusat perbelanjaan, serta merusak kantor pos. Aksi serupa juga dilaporkan di Ait Amira, Beni Mellal, dan Oujda.
Gerakan ini dipimpin oleh kelompok anonim bernama "GenZ 212" yang mengorganisasi seruan protes melalui platform Discord.
Dalam pernyataan di Facebook, kelompok tersebut menyampaikan penyesalan atas terjadinya aksi vandalisme, sekaligus menyerukan agar para peserta menjaga kedamaian demi mempertahankan legitimasi tuntutan mereka. Tuntutan itu mencakup pemberantasan korupsi serta keadilan sosial, khususnya bagi generasi muda dan perempuan.
Baca Juga: Ribuan Demonstran Bentrok dengan Polisi di Filipina, Bendera One Pice Berkibar
Aparat keamanan merespons dengan tindakan tegas. Sebanyak 37 orang akan diadili, dengan 34 di antaranya disidang tanpa penahanan, sementara tiga orang lainnya tetap ditahan. Di Casablanca, jaksa membuka penyelidikan terhadap 18 orang yang dituduh menghalangi lalu lintas, termasuk enam remaja yang dirujuk ke pengadilan anak.
Menurut Asosiasi Maroko untuk Hak Asasi Manusia (AMDH), lebih dari 200 demonstran muda ditangkap di Rabat dalam tiga hari terakhir, meski sebagian besar kemudian dibebaskan. Pemerintah koalisi yang didominasi partai-partai kanan-tengah dan liberal menyatakan kesiapannya merespons aspirasi rakyat secara positif dan bertanggung jawab.
Demonstrasi kini meluas ke setidaknya 11 kota besar, termasuk Rabat dan Casablanca. Para peserta mengecam kebijakan pemerintah yang lebih memprioritaskan pembangunan infrastruktur olahraga, seperti stadion untuk Piala Dunia 2030, dibandingkan sektor kesehatan.
Slogan yang banyak dikumandangkan adalah "Stadion ada, tapi rumah sakit di mana?", mencerminkan kontras tajam antara investasi besar di bidang olahraga dengan kondisi krisis layanan kesehatan.
Maroko memang tengah membangun tiga stadion baru serta merenovasi beberapa lainnya untuk persiapan Piala Dunia dan Piala Afrika. Namun, di sisi lain, sistem kesehatan nasional menghadapi persoalan serius, mulai dari kekurangan tenaga medis, fasilitas yang tidak memadai, hingga biaya layanan yang tinggi.
Baca Juga: 6 Tewas dalam Demonstrasi di Nepal, Pemerintah Blokir Media Sosial
Hasil survei AFR Barometer yang dipublikasikan pada 11 September 2025 menunjukkan 95% warga mengalami waktu tunggu pelayanan yang lama, dan 85% mengaku kekurangan staf medis atau tidak mampu membeli obat. Salah satu isu yang menyulut kemarahan publik adalah laporan meninggalnya delapan ibu hamil di rumah sakit umum di Agadir.
Selain kesehatan, sektor pendidikan juga menjadi titik protes. RUU No. 59.24 tentang pendidikan tinggi yang baru diajukan ke parlemen dinilai membatasi kebebasan berorganisasi di kampus dan membuka peluang privatisasi pendidikan tinggi. Hal ini dikhawatirkan akan menutup akses pendidikan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Tuntutan utama massa meliputi pendidikan gratis dan berkualitas, kurikulum yang sesuai kebutuhan dunia kerja, serta fasilitas memadai di wilayah tertinggal.
Tingkat pengangguran turut memperburuk situasi. Data resmi Badan Statistika Nasional Maroko mencatat tingkat pengangguran nasional mencapai 13,3% pada 2024, sementara di kalangan pemuda usia 15–24 tahun mencapai 36,7%. Banyak lulusan perguruan tinggi akhirnya terjebak di sektor informal tanpa perlindungan sosial, menandakan kegagalan sistem pendidikan menjawab kebutuhan pasar tenaga kerja.