Ekonom Minta Kebijakan Lebih Efektif untuk Tekan Shadow Economy

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 28 Agu 2025, 20:02
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Penulis & Editor
Bagikan
Ekonom Senior Universitas Paramadina Wijayanto Samirin dalam acara MERAH PUTIH di Nusantara TV Ekonom Senior Universitas Paramadina Wijayanto Samirin dalam acara MERAH PUTIH di Nusantara TV

Ntvnews.id, Jakarta - Meningkatnya peredaran rokok ilegal di Indonesia kembali menimbulkan kekhawatiran akan meluasnya praktik ekonomi bayangan (shadow economy). Kondisi ini mendorong para ekonom mendesak adanya deregulasi di sektor strategis yang berpengaruh terhadap perekonomian nasional.

Salah satunya adalah pasal-pasal mengenai tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) 28/2024, yang dianggap membuka ruang bagi praktik ilegal.

Shadow economy mencakup aktivitas ekonomi, baik legal maupun ilegal, yang tidak tercatat atau sengaja disembunyikan dari otoritas berwenang guna menghindari kewajiban seperti pajak, cukai, atau regulasi. Fenomena ini dinilai semakin mengancam stabilitas perekonomian Indonesia.

Laporan EY Global Shadow Economy Report 2025mencatat Indonesia masuk dalam jajaran negara dengan shadow economy terbesar di dunia, nilainya mencapai 23,8% dari PDB atau sekitar US$326 miliar. Potensi kehilangan penerimaan pajak akibat fenomena ini bisa mencapai Rp500 triliun setiap tahun.

Ekonom Senior sekaligus Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Wijayanto Samirin, menilai ada anomali kebijakan yang justru memperlemah pengawasan rokok ilegal, sementara regulasi yang berlaku malah memberi celah bagi peredarannya.

“Deregulasi asal tidak berhenti pada peraturan tetapi harus berujung pada implementasi di lapangan dan berorientasi hasil bukan prosedur, akan membantu menekan aktivitas ekonomi ilegal,” ujar Wijayanto dalam keterangannya, Kamis, 28 Agustus 2025.

Ia menyoroti aturan zonasi larangan penjualan dan iklan luar ruang produk tembakau dalam PP 28/2024, serta rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa merek pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) sebagai turunan dari beleid tersebut. Menurutnya, langkah itu justru bisa memperluas pasar rokok ilegal karena melemahkan daya saing produk resmi.

Wijayanto juga menilai pasal yang melarang penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak kurang efektif dibandingkan upaya pengawasan ketat terhadap usia pembeli.

“Besarnya porsi shadow economy terhadap PDB dipengaruhi oleh kepastian dan penegakan hukum di suatu negara. Semakin buruk kualitas penegakan hukum, maka akan semakin subur pula shadow economy bertumbuh,” katanya.

Ia pun mendorong pemerintah meniru praktik di negara lain dengan mewajibkan pembeli menunjukkan kartu identitas serta memberikan sanksi tegas bagi toko yang melanggar.

Selain regulasi, tingginya tarif cukai rokok juga disebut sebagai pemicu utama berkembangnya bisnis rokok ilegal. Meski industri tembakau menyumbang kontribusi besar bagi perekonomian melalui Cukai Hasil Tembakau (CHT), potensi kerugian negara akibat peredaran produk ilegal tetap signifikan.

Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan mencatat penerimaan CHT tahun 2024 mencapai Rp216,9 triliun, atau sekitar 73% dari total penerimaan cukai nasional. Namun di saat bersamaan, peredaran rokok ilegal menimbulkan kerugian negara Rp15 triliun hingga Rp25 triliun per tahun. Pada 2023, DJBC mengamankan 253,7 juta batang rokok ilegal, dan jumlah tersebut melonjak tajam di 2024 menjadi 710 juta batang dengan nilai mencapai Rp1,1 triliun.

Kerugian itu menggambarkan betapa besar dampak shadow economy terhadap penerimaan negara, yang seharusnya dapat dialokasikan untuk membiayai pembangunan masyarakat.

x|close