Ntvnews.id, Jakarta - Jaksa Korea Selatan pada Jumat menuntut hukuman penjara selama 10 tahun terhadap mantan presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol dalam sidang pertama dari empat persidangan yang berkaitan dengan upayanya yang gagal memberlakukan darurat militer. Putusan yang berpotensi dijatuhkan bulan depan dapat membuat Yoon tetap berada di balik jeruji besi bahkan sebelum perkara terberatnya diselesaikan.
Perkara pertama ini menyoroti tindakan Yoon sebelum dan sesudah penerbitan dekret darurat militer pada 3 Desember tahun lalu, termasuk dugaan menghalangi upaya penangkapannya, mengabaikan prosedur Kabinet, serta memalsukan dokumen resmi untuk menciptakan kesan bahwa deklarasi tersebut sah secara hukum.
Menghadiri persidangan dengan mengenakan setelan biru tua tanpa dasi, Yoon tampak tegang. Pada satu momen, ia bahkan tertawa getir seolah tidak percaya ketika jaksa khusus memaparkan tuntutan hukuman berat menjelang pembacaan vonis yang dijadwalkan pada 16 Januari.
Baca Juga: KPK Sebut OTT Di Banten Berawal Dari Dugaan Pemerasan Jaksa Terhadap WNA Korea Selatan
Yoon juga menghadapi dakwaan terpisah yang lebih serius, yakni sebagai dalang upaya pemberlakuan darurat militer yang gagal. Menurut para analis hukum, tindak pidana tersebut diancam hukuman mati atau penjara seumur hidup.
“Dengan mempertimbangkan tuntutan hukuman serta praktik pengadilan yang lazim, Yoon kemungkinan akan dijatuhi hukuman setidaknya lima tahun penjara hanya dalam persidangan ini saja, yang secara efektif meniadakan kemungkinan pembebasannya ketika masa penahanan awal enam bulan berakhir pada 18 Januari.”
Yoon bersama tim kuasa hukumnya meminta majelis hakim pidana ke-35 yang dipimpin hakim senior Baek Dae-hyun untuk menunda putusan perkara ini hingga majelis lain menyelesaikan musyawarah dalam kasus utama pemberontakan pada Februari. Mereka beralasan bahwa putusan lebih awal dapat memengaruhi persidangan yang lebih berat tersebut.
Namun, Baek menolak permohonan itu dan menyatakan akan membacakan putusan pada 16 Januari, dua hari sebelum masa penahanan enam bulan Yoon berakhir, sehingga memupus harapan mantan presiden tersebut untuk kembali dibebaskan untuk kedua kalinya.
Para pakar hukum menilai urutan pembacaan putusan ini bisa menjadi faktor penentu, karena vonis bersalah dalam perkara pertama akan sangat mempersempit ruang manuver hukum Yoon menjelang putusan kasus utama pemberontakan.
Baca Juga: Presiden Korea Selatan Tunjuk Perdana Menteri dan Pejabat Kunci Pemerintahan Baru
Dalam dokumen tuntutannya, jaksa khusus menyatakan:
“Tindakan terdakwa telah secara serius merusak tatanan hukum Republik Korea dan melukai secara mendalam warga negara yang mempercayainya hingga memilihnya sebagai presiden. Selama proses penyelidikan dan persidangan, terdakwa tidak pernah menunjukkan penyesalan atau menyampaikan permintaan maaf kepada publik. Sebaliknya, ia berulang kali bersikeras atas apa yang ia anggap sebagai legitimasi deklarasi darurat militer serta mempertanyakan keabsahan penangkapannya.”
Pada Januari, Yoon diketahui melakukan perlawanan keras saat hendak ditangkap dan membarikade diri di dalam kompleks kantor kepresidenan yang diperketat keamanannya, dengan perlindungan agen dinas pengamanan bersenjata. Meski sempat dibebaskan pada Maret karena alasan teknis, ia kembali ditangkap pada Juli.
Sejak saat itu, Yoon tetap bersikap menantang, mempertahankan klaim ketidakbersalahan yang menurut jaksa tidak berdasar, serta menyatakan bahwa dekret darurat militer bertujuan untuk “awaken” publik terhadap ancaman dari kekuatan pro–Korea Utara dan anti-negara.
(“Awaken” berarti “menyadarkan” publik terhadap ancaman tersebut.
Jaksa khusus menggambarkan perilaku Yoon sebagai:
“Pelanggaran berat di mana terdakwa memanfaatkan institusi negara seolah-olah milik pribadi untuk menutupi dan membenarkan perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya sendiri.”
Baca Juga: Ketegangan China–Jepang Meluas, Kapal Pesiar China Alihkan Rute dari Jepang ke Korea Selatan
Mereka juga menegaskan:
“Pertanggungjawaban yang tegas diperlukan untuk memulihkan tatanan konstitusional dan supremasi hukum yang telah dirusak oleh terdakwa, serta untuk mencegah terulangnya penyalahgunaan kekuasaan oleh otoritas tertinggi negara dalam sejarah Korea.”
Jaksa menuntut hukuman lima tahun penjara atas tuduhan menghalangi penangkapan, serta total tiga tahun penjara atas pelanggaran terhadap hak konstitusional anggota Kabinet untuk bermusyawarah dan memberikan suara terkait deklarasi darurat militer. Tambahan hukuman dua tahun penjara juga diminta atas dakwaan pemalsuan dokumen resmi terkait proklamasi tersebut.
Kasus ini menjadi perkara pertama dari empat persidangan terkait pemberontakan yang melibatkan Yoon yang memasuki tahap tuntutan, dan dinilai dapat menjadi tolok ukur bagi hasil perkara-perkara berikutnya.
Di luar ruang sidang, gejolak politik akibat kegagalan upaya darurat militer masih mengguncang Korea Selatan. Partai Demokrat Korea (DPK) yang kembali berkuasa setelah pemakzulan Yoon pada April menyatakan akan mendorong penyelidikan jaksa khusus lanjutan yang mencakup upaya darurat militer Yoon, skandal yang melibatkan istrinya Kim Keon-hee, serta kematian seorang marinir muda yang diduga ditutup-tutupi oleh pemerintahannya.
Sumber : This Week In Asia
mantan presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol (This Week In Asia)