Ntvnews.id, Jakarta - Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan periode 2024–2025, Muhammad Arif Nuryanta, dijatuhi hukuman penjara selama 12 tahun dan 6 bulan atas perkara dugaan suap terkait putusan lepas (ontslag) dalam kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) pada 2023–2025.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Effendi, majelis menyatakan bahwa Arif terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima sejumlah uang suap bersama pihak lain. Total suap yang diterimanya mencapai Rp14,73 miliar.
"Perbuatan ini sesuai Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP," ujar Effendi saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu.
Selain hukuman badan, Arif juga dikenai denda Rp500 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar akan diganti dengan kurungan selama 6 bulan. Majelis turut menjatuhkan pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti Rp14,73 miliar.
Majelis menetapkan bahwa apabila uang pengganti tidak dibayar dalam jangka waktu satu bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap, maka jaksa dapat menyita serta melelang harta milik terdakwa. "Dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda lagi yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 5 tahun," lanjut Hakim Ketua.
Baca Juga: Eks Ketua PN Jaksel dan Tiga Hakim Nonaktif Hadapi Sidang Vonis Kasus Suap CPO
Pertimbangan Memberatkan dan Meringankan
Majelis Hakim menilai tindakan Arif telah merusak upaya negara dalam memberantas korupsi sekaligus mencoreng marwah lembaga peradilan sebagai benteng terakhir bagi para pencari keadilan. Selain itu, posisi Arif sebagai pimpinan PN Kelas IA Khusus yang seharusnya memberi teladan justru dijadikan sebagai celah untuk melakukan korupsi.
Perbuatan tersebut juga dinilai bukan dilatarbelakangi kebutuhan, melainkan keserakahan. Di sisi lain, perbuatan tersebut dilakukan saat Arif menjabat sebagai hakim tindak pidana korupsi, yakni sosok yang semestinya menegakkan keadilan tetapi justru melakukan pelanggaran.
Adapun hal yang meringankan, menurut majelis, adalah bahwa terdakwa telah mengembalikan sebagian uang yang diterima serta memiliki tanggungan keluarga. "Sementara hal meringankan yang dipertimbangkan Majelis Hakim, yakni terdakwa telah mengembalikan sebagian uang yang dikorupsi dan memiliki tanggungan keluarga," kata Effendi.
Tuntutan Lebih Berat dari Jaksa
Putusan tersebut sedikit lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa. Sebelumnya, jaksa meminta agar Arif dihukum 15 tahun penjara, denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan, serta membayar uang pengganti Rp15,7 miliar subsider 6 tahun penjara.
Perkara suap ini terjadi ketika Arif masih menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Ia disebut menerima suap dari Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan Syafei, yang merupakan advokat atau kuasa dari korporasi terkait perkara CPO, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Uang suap tersebut mengalir kepada Arif bersama Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, serta tiga hakim nonaktif yang mengadili perkara tersebut, yakni Djuyamto, Ali Muhtarom, dan Agam Syarief Baharudin.
(Sumber : Antara)
Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan periode 2024-2025 Muhammad Arif Nuryanta dalam sidang pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu 3 Desember 2025. (ANTARA/Agatha Olivia Victoria) (Antara)