Ntvnews.id, Singapura - Sepanjang tahun 2024, lebih dari 3.000 gerai makanan serta minuman di Singapura resmi berhenti beroperasi. Jumlah tersebut menjadi yang paling tinggi sejak 2005 dan menjadi sinyal kuat bahwa sektor kuliner di "Negeri Singa" tengah menghadapi tekanan berat.
Para pelaku usaha mengakui bahwa kenaikan biaya operasional yang terus meningkat, sementara permintaan melemah, menciptakan kombinasi tantangan bisnis yang semakin sulit diatasi.
Salah satu usaha yang akan gulung tikar dalam waktu dekat adalah Wine RVLT, sebuah bar anggur yang sudah berdiri hampir delapan tahun di Carpenter Street. Usaha ini akan resmi tutup saat masa sewanya berakhir pada penghujung tahun.
“Kami mengandalkan belas kasihan pemilik gedung. Kami tidak punya banyak kekuatan untuk bernegosiasi karena kami hanya mengelola satu lokasi,” ujar Ian Lim, Direktur sekaligus salah satu pendiri Wine RVLT, dikutip dari CNA, Senin, 1 Desember 2025.
Baca Juga: Singapura Gagalkan Penyelundupan 35,7 Kg Cula Badak Senilai Rp14,5 Miliar
Lim juga menjelaskan bahwa biaya operasional meningkat secara bertahap dalam beberapa tahun terakhir, namun harga jual dipertahankan agar konsumen tidak terbebani. Kondisi tersebut membuat operasional usaha tidak lagi berkelanjutan.
Dalam unggahan di Instagram, pemiliknya menyebut penutupan ini sebagai momentum untuk refleksi diri — apakah kualitas makanan menurun, kreativitas berkurang, atau layanan mereka terasa dingin dan kurang tulus.
“Sebagai operator, saya rasa kami masih berusaha memperbaiki diri, tetapi yah begitulah,” lanjut Lim.
Pasar Menggeliat, Tapi Kompetisi Makin Sengit
Singapura (Istimewa)
Meski banyak gerai tutup, CNA mencatat bahwa pada tahun yang sama justru muncul 3.793 gerai baru. Fenomena ini memperlihatkan munculnya pelaku usaha baru namun sekaligus memicu persaingan yang semakin keras.
Presiden Asosiasi Restoran Singapura, Benjamin Boh, menyebut sektor ini kini sangat kompetitif sementara jumlah pelanggan semakin menipis.
“Banyak warga Singapura kini lebih memilih ke Johor Bahru (Malaysia) untuk mendapatkan makanan lebih murah,” ujarnya, dikutip dari The Straits Times.
Baca Juga: Absen 43 Tahun, Timnas Singapura Kembali Lolos Ke Piala Asia 2027
Selain itu, tingginya biaya sewa, pelaksanaan Model Upah Progresif, serta kurangnya tenaga kerja membuat beban operasional usaha semakin berat. Boh juga menekankan bahwa bisnis kuliner memerlukan human touch.
“Sentuhan manusia sangat penting dalam makanan dan minuman, dan teknologi hanya bisa berkembang sampai batas tertentu,” katanya.
Pengamat: Banyak Pelaku Masuk Industri Tanpa Perhitungan Bisnis Matang
Profesor Madya Lau Kong Cheen dari Singapore University of Social Sciences menilai bahwa tidak sedikit pelaku usaha kuliner terjun ke industri karena dorongan untuk menjadi bos, namun tanpa menyiapkan strategi bisnis berkelanjutan.
“Mereka mungkin dibutakan oleh keinginan untuk menjalankan usaha sendiri, tetapi tidak merancang strategi jangka panjang yang menguntungkan,” ujarnya.
Ia menyarankan agar pelaku usaha menekan biaya sewa maksimal 20 persen dari total pengeluaran serta meningkatkan otomatisasi guna menekan beban tenaga kerja. Selain itu, perlu pemanfaatan strategi pemasaran yang agresif dan perluasan layanan melalui sistem pesan antar untuk memperluas pasar.
Kota Singapura (Pixabay)