Ntvnews.id, Tokyo - Perdana Menteri Jepang, Sanae Takaichi, pada Rabu, 26 November 2025, kembali menegaskan bahwa dirinya berkewajiban mengutamakan kepentingan nasional Jepang dengan membangun hubungan positif dengan China melalui jalur dialog. Pernyataan itu disampaikannya di tengah memburuknya hubungan diplomatik kedua negara setelah komentarnya mengenai Taiwan memicu ketegangan.
Hubungan antara Tokyo dan Beijing memanas sejak awal bulan ini ketika Takaichi menyampaikan bahwa serangan militer terhadap Taiwan berpotensi menimbulkan “situasi yang mengancam keberlangsungan” bagi Jepang. Ucapannya tersebut dipandang sebagai kemungkinan sinyal bahwa Pasukan Bela Diri Jepang dapat terlibat apabila skenario itu terjadi.
China, yang dipimpin Partai Komunis, tetap bersikukuh bahwa Taiwan merupakan provinsi yang harus dipersatukan kembali dengan daratan, bahkan bila harus menggunakan kekuatan militer. Beijing menekankan bahwa isu Taiwan, yang sejak 1949 memiliki pemerintahan sendiri setelah perpecahan akibat perang saudara, merupakan urusan dalam negeri mereka.
Dalam debat parlemen satu lawan satu bersama pemimpin oposisi pada Rabu, Takaichi menjelaskan bahwa pernyataan pada 7 November itu disampaikan “dengan tulus” sebagai jawaban atas pertanyaan spesifik mengenai kemungkinan langkah Jepang apabila terjadi keadaan darurat yang berkaitan dengan pulau demokratis tersebut. Takaichi, yang juga menjabat sebagai ketua Partai Demokrat Liberal (LDP), menegaskan bahwa pemerintah akan melakukan penilaian menyeluruh terkait definisi “situasi yang mengancam keberlangsungan” dengan mempertimbangkan seluruh data serta perkembangan situasi.
Baca Juga: China Tegaskan Tolak Kebangkitan Militerisme Jepang
Perselisihan diplomatik ini memicu kekhawatiran luas karena sejumlah kegiatan politik, bisnis, hingga kebudayaan antara kedua negara disebut mengalami penundaan atau pembatalan. Dalam sesi debat itu pula, Takaichi menanggapi pertanyaan ketua Partai Demokrat Konstitusional Jepang, Yoshihiko Noda, yang meragukan paket stimulus senilai sekitar 21,3 triliun yen (140 miliar dolar AS atau sekitar Rp2,3 kuadriliun) yang telah disetujui minggu lalu. Paket tersebut dinilai menciptakan tekanan baru terhadap yen dan memicu aksi jual obligasi pemerintah Jepang, seiring meningkatnya kekhawatiran mengenai kondisi fiskal negara yang telah menjadi yang terburuk di antara negara-negara maju dengan total utang lebih dari dua kali ukuran ekonominya.
Takaichi menambahkan bahwa pemerintahannya akan mengambil langkah yang diperlukan setelah melakukan peninjauan apakah pergerakan terbaru di pasar valuta asing masih mencerminkan kondisi fundamental ekonomi.
(Sumber: Antara)
Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi. /ANTARA/Anadolu/py (Antara)