MK Tolak Permohonan Samakan Masa Jabatan Kapolri dengan Presiden dan Kabinet

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 13 Nov 2025, 15:37
thumbnail-author
Satria Angkasa
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (kanan) didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra memimpin sidang pembacaan putusan uji materiil UU Polri di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025). MK mengabulkan uji materiil terhadap pasal 28 ayat (3) UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga kini anggota Polri aktif harus mengundurkan diri atau pensiun untuk menduduki jabatan di luar kepolisian. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/bar. Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (kanan) didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra memimpin sidang pembacaan putusan uji materiil UU Polri di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025). MK mengabulkan uji materiil terhadap pasal 28 ayat (3) UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga kini anggota Polri aktif harus mengundurkan diri atau pensiun untuk menduduki jabatan di luar kepolisian. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/bar. (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang meminta agar masa jabatan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) disamakan dengan masa jabatan presiden dan anggota kabinet.

"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo saat membacakan amar Putusan Nomor 19/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis, 13 November 2025.

Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh tiga mahasiswa, yakni Syukur Destieli Gulo, Christian Adrianus Sihite, dan Devita Analisandra. Mereka menguji ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU Polri beserta penjelasannya.

Pasal 11 ayat (2) UU Polri menyatakan, "Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya."

Para pemohon menilai bahwa alasan pemberhentian Kapolri belum diatur secara jelas dalam undang-undang tersebut. Oleh karena itu, mereka meminta agar alasan pemberhentian diatur secara tegas, sekaligus agar masa jabatan Kapolri disamakan dengan berakhirnya masa jabatan menteri yang mengikuti masa jabatan Presiden.

Baca Juga: Kapolri Beri Penghargaan Bintang Bhayangkara Pratama Buat Danpaspampres Mayjen TNI Edwin Sumantha

Hakim Konstitusi Arsul Sani menjelaskan bahwa dalam permohonannya, para pemohon berasumsi bahwa posisi Kapolri setara dengan jabatan menteri. Namun, Mahkamah tidak sependapat dengan pandangan itu.

Menurut Arsul, gagasan untuk menempatkan Kapolri setingkat dengan menteri sebenarnya pernah muncul dalam proses pembahasan UU Polri.

“Ketika pembahasan tersebut, Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa mengusulkan menambahkan frasa ‘setingkat menteri’ pada jabatan Kapolri,” jelasnya.

Namun, usulan tersebut tidak disetujui oleh pembentuk undang-undang. Arsul menyebut hal itu terlihat dari tidak adanya frasa “setingkat menteri” dalam UU Polri yang diundangkan.

“Bahkan, pembentuk Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 lebih memilih untuk menegaskan Kapolri merupakan perwira tinggi yang masih aktif,” ucap dia.

Mahkamah menilai, jika jabatan Kapolri diberikan status “setingkat menteri”, maka kepentingan politik presiden akan lebih dominan dalam proses penentuan Kapolri. Padahal, menurut Pasal 30 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, Polri merupakan alat negara.

Sebagai alat negara, lanjut Arsul, Polri harus mampu menempatkan tugas pemeliharaan keamanan, ketertiban masyarakat, serta penegakan hukum di atas kepentingan semua pihak, termasuk Presiden.

“Artinya, dengan memosisikan jabatan Kapolri menjadi setingkat menteri, Kapolri secara otomatis menjadi anggota kabinet, jelas berpotensi mereduksi posisi Polri sebagai alat negara,” terang Arsul.

Baca Juga: Kapolri Tegaskan Polri Terbuka terhadap Evaluasi dan Perbaikan

Mahkamah juga menilai, permohonan tersebut berpotensi menggeser posisi Kapolri menjadi bagian dari kabinet pemerintahan. MK menegaskan bahwa langkah itu tidak sejalan dengan prinsip Polri sebagai alat negara yang independen.

Menurut Mahkamah, jabatan Kapolri merupakan jabatan karier profesional yang memiliki batas masa jabatan, namun tidak bersifat periodik dan tidak secara otomatis berakhir bersamaan dengan masa jabatan Presiden.

“Artinya, jabatan Kapolri memiliki batas waktu dan dapat diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan evaluasi presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” jelas Arsul.

Ia menambahkan, apabila Mahkamah mengabulkan permohonan tersebut dengan memberikan makna baru sebagaimana diminta para pemohon, maka hal itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses pengisian dan pemberhentian Kapolri.

“Dengan demikian, tidak terdapat keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan dalil para pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Arsul. 

(Sumber: Antara)

x|close