Ntvnews.id, Washington D.C - Mayoritas hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) menunjukkan sikap skeptis terhadap kemampuan Presiden Donald Trump dalam memberlakukan tarif impor sepihak berskala besar. Pandangan tersebut menandai potensi ancaman terhadap salah satu pilar utama kebijakan ekonomi Trump.
Tiga hakim konservatif menyoroti apakah undang-undang darurat benar-benar memberikan kekuasaan nyaris tanpa batas kepada presiden untuk menetapkan dan mengubah tarif impor, yang dapat menimbulkan dampak signifikan bagi ekonomi global. Sementara itu, tiga hakim liberal juga mengungkapkan keraguan serupa. Dengan demikian, setidaknya dua suara tambahan dari hakim konservatif berpotensi membatasi kewenangan tarif Trump, meski tidak menghapusnya sepenuhnya.
Kasus ini menjadi momen pertama kalinya Mahkamah Agung secara langsung menguji kebijakan utama Trump yang sebelumnya jarang mendapat pembatasan melalui keputusan sementara. Namun, keputusan akhir perkara ini diperkirakan baru akan diumumkan dalam beberapa minggu atau bulan mendatang.
Konstitusi AS menetapkan bahwa kewenangan untuk menetapkan tarif berada di tangan Kongres. Pemerintahan Trump berargumen bahwa undang-undang darurat memberikan dasar hukum bagi presiden untuk mengatur impor, termasuk melalui kebijakan tarif.
Baca Juga: China Bantah Tuduhan Trump Soal Uji Coba Senjata Nuklir Diam-Diam
Hakim Neil Gorsuch menilai hal tersebut berpotensi mengalihkan kekuasaan legislatif ke tangan presiden. “Ini seperti arah satu jalur menuju penumpukan kekuasaan di eksekutif dan menjauh dari wakil rakyat,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa keputusan yang “mengambil uang rakyat” seharusnya dilakukan oleh wakil rakyat yang terpilih.
Ketua Mahkamah Agung John Roberts juga menanyakan apakah undang-undang darurat itu memungkinkan tarif terhadap “produk apa pun, dari negara mana pun, dalam jumlah berapa pun, dan selama waktu apa pun.” Hakim Amy Coney Barrett turut menekan pemerintah dengan mempertanyakan luasnya cakupan kebijakan tarif tersebut terhadap banyak negara.
Presiden AS Donald Trump berbicara kepada wartawan saat perjalanan ke Tokyo di pesawat Air Force One, Senin, 27 Oktober 2025. ANTARA FOTO/REUTERS/Evelyn Hockstein/agr (Antara)
Jaksa Agung D. John Sauer membela langkah pemerintahan Trump dengan menyebut bahwa ketidakseimbangan perdagangan adalah “masalah global,” dan bahwa tarif tersebut bertujuan menciptakan sistem perdagangan yang lebih adil, bukan sebagai instrumen pajak. “Fakta bahwa tarif menghasilkan pendapatan hanyalah efek samping,” katanya.
Beberapa jam setelah sidang, Trump menegaskan bahwa kebijakan tarifnya membantu mengurangi defisit. “Tarif saya menghasilkan ratusan miliar dolar,” katanya dalam pidato di Miami.
Dikutip dari France24, Kamis, 6 November 2025, kasus yang diajukan mencakup dua kebijakan tarif besar. Pertama, tarif yang diberlakukan pada Februari terhadap impor dari Kanada, Tiongkok, dan Meksiko setelah Trump menyatakan darurat nasional terkait perdagangan narkotika. Kedua, tarif “resiprokal” berskala luas terhadap sebagian besar negara yang diumumkan pada April.
Baca Juga: China Bantah Tuduhan Trump Soal Uji Coba Senjata Nuklir Diam-Diam
Sejumlah gugatan diajukan terhadap kebijakan tersebut, termasuk dari beberapa negara bagian yang berhaluan Demokrat dan kelompok usaha kecil. Mereka berpendapat bahwa Undang-Undang Kekuasaan Ekonomi Darurat Internasional tahun 1977 (IEEPA) tidak menyebutkan tarif, dan belum pernah digunakan untuk memberlakukan pajak impor.
Pengadilan tingkat bawah sebagian besar menilai langkah Trump melanggar undang-undang tersebut, meski beberapa hakim banding mendukung pemerintah dengan alasan presiden memiliki kewenangan luas dalam keadaan darurat.
Di Mahkamah Agung, perdebatan berfokus pada major questions doctrine, doktrin hukum yang sebelumnya digunakan untuk membatalkan kebijakan besar Presiden Joe Biden seperti penghapusan utang mahasiswa senilai 500 miliar dolar AS. Pihak penantang berpendapat bahwa kebijakan tarif Trump seharusnya dinilai dengan standar yang sama karena dampaknya dapat mencapai 3 triliun dolar dalam satu dekade.
Pemerintah bersikeras bahwa tarif adalah bagian dari kebijakan luar negeri yang seharusnya tidak dibatasi oleh pengadilan. Beberapa hakim konservatif, termasuk Brett Kavanaugh, tampak mendukung pandangan tersebut.
“Anda memaksa presiden menanggapi keadaan darurat, tapi sekaligus mengambil alat yang dibutuhkannya,” katanya.
Ketua Mahkamah Agung John Roberts juga terlihat berhati-hati agar keputusan pengadilan tidak terlalu mengekang kewenangan presiden dalam urusan luar negeri.
Sementara itu, pengacara Neal Katyal, yang mewakili kelompok usaha kecil penentang tarif, memperingatkan bahwa jika Mahkamah Agung berpihak pada Trump, maka Kongres bisa kehilangan kekuasaannya secara permanen.
“Kita tidak akan pernah mendapatkan kembali kekuasaan ini jika pemerintah menang,” ujarnya.
Jika Trump kalah, pemerintah kemungkinan harus mengembalikan dana hasil tarif yang telah dikumpulkan. Hingga kini, Departemen Keuangan AS telah menerima hampir 90 miliar dolar dari penerapan tarif impor berdasarkan undang-undang darurat.
Meski begitu, kebijakan tarif diperkirakan tidak akan sepenuhnya hilang, karena presiden masih dapat memberlakukannya melalui undang-undang lain yang memiliki cakupan lebih terbatas.
Tangkapan layar - Presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam pidatonya pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-47 ASEAN yang digelar di Kuala Lumpur Convention Center, Malaysia, Minggu (26/10/2025). (ANTARA)