Ntvnews.id, Jakarta - Kementerian Hukum (Kemenkum) mengungkapkan bahwa saat ini terdapat sekitar 500 narapidana di Indonesia yang masih menanti pelaksanaan eksekusi hukuman mati.
Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Dhahana Putra, menjelaskan bahwa para terpidana mati tersebut belum dieksekusi karena belum adanya aturan yang mengatur secara jelas waktu pelaksanaan pidana mati.
“Bisa dibayangkan orang terpidana mati yang tidak ada waktu kapan (eksekusinya) ya, ini penantian yang luar biasa dan menjadi suatu masalah besar,” ucap Dhahana dalam Webinar Uji Publik Rancangan Undang-Undang tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di Jakarta, Jumat, 31 Oktoberfest 2025.
Ia menambahkan, pemerintah saat ini sedang memproses Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, yang rencananya akan segera disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto kepada Ketua DPR RI Puan Maharani.
Baca Juga: Kemenkumham Tak Ajukan Tambahan Anggaran untuk 2025
Dalam rancangan undang-undang tersebut, diatur bahwa pelaksanaan pidana mati tidak boleh dilakukan lebih dari 30 hari sejak penetapan putusan. Eksekusi akan dilakukan di tempat tertutup dan terbatas, serta diutamakan di wilayah tempat terpidana menjalani pembinaan.
Lebih lanjut, Dhahana menjelaskan bahwa saat proses pelaksanaan putusan, pemberitahuan akan disampaikan kepada berbagai pihak terkait, termasuk kepada terpidana mati dan keluarga, presiden, advokat, Mahkamah Agung, menteri luar negeri, menteri hukum, menteri imigrasi dan pemasyarakatan, kepolisian, serta Komnas HAM.
“Pemberitahuan itu disertai informasi upaya hukum, hasil pemeriksaan dan penilaian terpidana mati, dan keputusan penolakan permohonan grasi,” katanya.
Ia juga menuturkan bahwa presiden memiliki kewenangan memberikan pertimbangan terhadap pelaksanaan hukuman mati, dan tindak lanjut dari keputusan tersebut harus dilakukan sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.
Baca Juga: DPR Minta Pemerintah Tidak Lakukan Kejar Tayang Soal Regulasi Pecahan Kemenkumham
“Apabila dalam 90 hari sejak keputusan pelaksanaan pidana mati diterima oleh presiden telah lewat dan presiden tidak menetapkan keputusan perubahan pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup, usulan perubahan pidana mati dianggap dikabulkan secara hukum,” jelasnya.
Menurut Dhahana, kehadiran RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum mengenai proses dan waktu pelaksanaan eksekusi bagi para terpidana.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru pada 2 Januari 2026, pidana mati akan menjadi pilihan hukuman terakhir yang dijatuhkan pengadilan.
Dalam KUHP nasional yang baru, hukuman mati tidak lagi menjadi pidana pokok, melainkan pidana alternatif yang sepadan dengan hukuman penjara seumur hidup atau 20 tahun.
“Inilah politik hukum, sejatinya pidana mati itu kita terapkan asas ultimum remedium. Bahkan ada kecenderungan tidak dilaksanakan,” imbuh Dhahana.
(Sumber: Antara)
 
             Tangkapan layar - Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkum Dhahana Putra dalam Webinar Uji Publik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di Jakarta, Jumat 31 Oktober 2025. ANTARA/YouTube/djppkemenkum/Agatha Olivia Victoria (Antara)
 Tangkapan layar - Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkum Dhahana Putra dalam Webinar Uji Publik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di Jakarta, Jumat 31 Oktober 2025. ANTARA/YouTube/djppkemenkum/Agatha Olivia Victoria (Antara)                              
                         
         
         
         
         
         
         
         
         
         
         
             
         
         
         
         
         
         
         
         
         
         
         
         
         
         
             
             
             
            