Ntvnews.id, Jakarta - Hakim anggota II, Hiashinta Fransiska Manalu, mengungkapkan pendapat berbeda (dissenting opinion) terhadap putusan ne bis in idem dalam perkara dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) hasil korupsi penjualan bijih nikel dari Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT Antam Tbk., Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Menurut Hiashinta, meskipun dakwaan didasarkan pada peristiwa yang sama, namun para terdakwa yakni pemilik PT Lawu Agung Mining, Windu Aji Sutanto, dan pelaksana lapangan perusahaan tersebut, Glenn Ario Sudarto, dijerat dengan tindak pidana yang berbeda.
"Dalam persidangan tidak ditemukan hal-hal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan/atau alasan pemaaf serta terdakwa mampu bertanggungjawab, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah serta dijatuhi pidana," ujar Hakim Hiashinta saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 24 September 2025.
Ia menegaskan, dalam pokok perkara korupsi, kedua terdakwa terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Baca Juga: Prabowo Tunjuk Yusril Ihza Mahendra Pimpin Komite Nasional TPPU
Sedangkan dalam perkara TPPU, dakwaan ditujukan atas pelanggaran Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Hiashinta menilai setiap dakwaan memuat unsur pidana yang berbeda, dengan dasar hukum yang juga berlainan. Karena itu, ia menilai jaksa penuntut umum berhak menyusun dakwaan sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagaimana diatur pula dalam Surat Edaran Jaksa Agung.
"Baik dalam bentuk dakwaan tunggal, alternatif, subsider, kumulatif, maupun kombinasi," tegasnya.
Namun dalam perkara ini, Majelis Hakim Tipikor PN Jakarta Pusat justru memutuskan ne bis in idem terhadap Windu Aji dan Glenn Ario. Asas hukum ne bis in idem bermakna “tidak dua kali dalam hal yang sama” atau tidak boleh ada penuntutan ulang terhadap perbuatan yang telah diputus dengan kekuatan hukum tetap.
Majelis menilai perkara keduanya merupakan pengulangan dari kasus korupsi nikel yang sudah diputus di tingkat kasasi. Putusan sebelumnya juga telah berkekuatan hukum tetap.
Baca Juga: Kejagung Sita Aset Tanah Rp35 Miliar Milik Zarof Ricar dalam Kasus TPPU
Meski begitu, Windu Aji tetap terbukti menggunakan hasil korupsi untuk membeli tiga unit mobil mewah melalui nama PT Lawu Agung Mining. Ia juga menerima dana Rp1,7 miliar dari penjualan bijih nikel yang ditransfer melalui rekening dua orang karyawan office boy Lawu Tower, yakni Supriono dan Opah Erlangga Pratama.
Dalam dakwaan, uang hasil korupsi itu digunakan Windu Aji untuk membeli satu Toyota Land Cruiser, satu Mercedes Benz Maybach, serta satu Toyota Alphard.
Sementara itu, Glenn Ario sebagai pelaksana lapangan PT Lawu Agung Mining didakwa lebih aktif dalam kegiatan penambangan hingga pengangkutan dan penjualan bijih nikel. Hasil tambang dari lahan milik Antam seharusnya diserahkan ke Antam, namun Glenn diduga membeli dokumen PT Kabaena Kromit Pratama (KKP) dan PT Tristaco Mineral Makmur (TTM) dengan harga US$3–5 AS per metrik ton, agar seolah-olah nikel tersebut berasal dari WIUP perusahaan tersebut dan bisa dijual ke pihak lain.
Dalam kasus korupsi sebelumnya, Windu Aji telah divonis 10 tahun penjara, sementara Glenn Ario divonis 7 tahun penjara. Keduanya juga diwajibkan membayar denda Rp500 juta dengan ketentuan subsider 6 bulan kurungan, berdasarkan putusan kasasi.
(Sumber: Antara)